Minggu, 07 November 2010

Kamis, 04 November 2010

kenangan itu hilang

Hanya itu satu-satunya kenanganku...
Tentang senyuman, tentang kegundahan....
Tentang perubahan...
Awal kesetiaan....

Perjalanan waktu memberikan keirikil tumpul-tajam...
bertahan..
bertahan...
kenanganku hilang....

krisis . . . .

ya . . . .

krisis . . .

27/10/2010 20:44 WIB

Dunia Kebebasan

Dalam alunan melodi nyanyian gerimis di suatu sore
Aku dengan mimik muka lelah mencoba untuk melihat keluar jendela reotku
Begitu melankolisnya nuansa sore gerimis itu
Melihat burung-burung menari mempermainkan titik air hujan diatas langit
Sembari berkata: “Kakak, ayo main bersamaku!”
Burung-burung itu sangat bahagia dengan bulu hitam dan sayap lebarnya

Kembali aku memalingkan mukaku menatap laptop kecil yang berisi penuh pemikiran
Membaca tiap bait kata yang terurai dari keringat kelelahan hidup
Apa yang bisa aku sombongkan? Kekuasaan ini? Keberhasilan itu?
Aku rasa bukan itu. . . intuisiku berkata bukan
Sedikit kulirik awan dengan segala fenomena yang sedang terjadi disana
Lalu aku melihat burung-burung hitam tadi
Mereka tidak rupawan, mereka tidak memiliki apapun
Tapi mereka bersayap, mereka tersenyum, mereka bebas
Aku tau mereka menyombong kepadaku. . .
mereka layak . . .

Kembali aku berpetualang menjelajah langit
Petualangan diatas kursi berlubang disamping jendela reot
Takjub aku melihat awan-awan itu
Kelinci, ular, lautan dan semua memori romantika kehidupanku tergambar diangkasa

Kurasa sudah cukup,
aku kembali menatap dinding-dinding sekitar ruanganku
aku melihat tangisan, kepedihan, kesakitan,
lalu aku teringat tentang saudara-saudara jauhku di seberang dinding-dinding itu
menurut kabar burung mereka mati ditelan alam
aku bingung,
mereka tidak tahu apapun tentang kemarahan alam ini,
aku hanya bisa berdoa dan berduka, dan aku mencoba tersenyum dengan melihat angkasa
aku selalu ingin mendekat menyentuh angkasa langit
tapi aku tak bersayap, aku tak bebas
mungkin hanya....
Tengadahkan mukamu keatas langit, lalu kau akan menemukan dunia yang lain, dunia kebebasan

28 Oktober 2010 / 17.08 WIB

Selasa, 14 September 2010

Balada Percakapan Dua Pemuda Gila

Di sore yang indah di depan gedung rekotorat eh salah rektorat (maaf salah ketik, yakin gak maksud apa-apa) samping danau nan cantik dihiasi sampah yang mengambang beserta baunya yang harum serta keramaian orang-orang yang memancing di bawah papan bertuliskan “Daerah Konservasi Dilarang Memancing Disini” , terdapat dua ekor pemuda sedang berbincang mengenai kehidupan. Hal-hal yang sangat penting mereka perdebatkan, tentang bagaimana cara bunuh diri yang cepat apakah dengan menggunakan semprotan nyamuk sebagai alatnya atau kaos kaki bekas pemain sepak bola yang 1 bulan tidak dicuci. Dan akhirnya mereka sepakat flashdisc yang tercepat (loh gak jelas). Perbincangan itupun merembet sampai membicarakan kampus-kampus di beberapa tempat (nama lengkap tiap kampus akan disamarkan sehingga masyarakat tidak akan tahu kampus apa yang dimaksud). Kedua pemuda itu mulai membicarakan bagaimana keadaan di ITB (inisial samaran), atau UGM,UNS, UNDIP, UNPAD, UNAIR, AKMIL, AKPOL, AKBID, AKPER, STIKES, STAIN dan kampus-kampus lainnya (gak ada yang tahu kan kampus mana aja tadi? Iyalah disamarkan gitu).


Hingga sampailah pada perbincangan yang panas tentang UI. (akhirnya narasinya sampai juga). Berikut percakapannya :



A : Ada apa sih di UI ? Kok pada kepingin keterima masuk?

B : hmmm . . . gue mikir dulu deh jawabannya. . .

A : Murah ya?

B : Ah gak juga sih. . . keseriusan penanganan keringanan biayanya juga gak terlalu kelihatan dari pihak “nyang punya kampus.” Noh banyak kasus di BOPB . . .

A : trus apa dong ? kampus rakyat ya?? Katanya gitu, banyak orang-orang dari daerah sabang sampai merauke ada di UI? Ya kan? Ya kan?

B : gundulmu itu, sekarang aja di tiap jurusan di fakultas yang mendominasi si agata ( anak gaul Jakarta ).

A : Gara-gara SIMAK sama UMB kali ya, jadinya informasi sentralistik di pusat. Hla iya orang-orang di pelosok masa mau ngurusin internet-internetan. . . . Gile aje
lu.. hahaha..

B : Yang ada pada nyari kayu bakar di hutan . . .

A : gue bingung sekarang, jadi apa dong alesannya?

B : terlanjur . . .

A : maksud loe?

B: terlanjur punya nama besar. . .

A : besar apanya sih ? kayaknya kecil-kecil aja deh. . . apa sih gue . . haha . . .

B : coba analogiin gini deh, ada orang kaya raya buangeet namanya paijo sama orang miskin buangeet namanya parijan.

A: oke si paijo miskin trus parijan kaya. . . eh kebalik . . ya itu deh . . .

B : Kekayaan si paijo ini udah terkenal di mana-mana, begitu juga kemiskinan si parijan. Baju-baju yang di pake paijo si orang kaya itu selalu di cap harga mahal oleh masyarakat, dan pakaian si parijan selalu di cap murahan.

A : jelas lah, paijo ngupil aja keluar duit . . . nah parijan . . . . ironis memang . . .

B : nah… loe sama aja kalo gitu, padahal karena si paijo itu orangnya pelit se kikir-kikirnya orang, dia selalu beli baju di pasar bekas yang harganya Rp10.000 dapet tiga potong. Tapi karena udah terlanjur namanya terkenal sebagai orang kaya, orang-orang tetep nganggep mahal dan kepingin baju si paijo itu.

A : trus si parijan?

B : penasaran kan? ? haha . . . ternyata walaupun abal-abal, untuk masalah baju si parijan gak main-main, dia berani makan sehari sekali cuman buat nabung untuk beli baju bermerek setara orang kaya. Tapi yah , dasar labeling, orangpun nganggep itu baju murahan.

A : hmm… paijo si kaya berbaju murah dan parijan si miskin berbaju mahal . . . analogiin dengan UI dan kampus lainnya ya? Hahaha . . . gue ngerti. . . gue ngerti . . .

B : nah pinter loe . . haha . . . yah gimanapun se kikirnya paijo dia tetep punya kelebihan lah . . . karena kaya rayanya jadi akan banyak peluang dan keuntungan yang bisa didapat . . . semua ada positifnya . .

A : gitu juga parijan, walaupun miskin dan gak punya nama, tapi sebenernya malah si parijan ini yang lebih kompetitif untuk mendobrak ingin mendapatkan nama. Jadi dia akan melakukan perbaikan dan introspeksi diri. Bahaya nih parijan . . .

B : ini kita kok malah ngomongin parijan dan paijo ? hahaha . . . intinya jangan takut masuk UI. Satu hal yang sampai sekarang masih sama kayak dulu . .

A : apa tuh ? jadi penasaran . . .

B : bahwa UI adalah kampus perjuangan . . . akan banyak pejuang-pejuang muda yang akan memperjuangkan keadilan di UI, jadi gak usah takut . . . orang-orang ini yang akan sekuat tenaga mengangkat kaum-kaum marginal kampus agar sejahtera sama seperti yang lain.

A : nah kalo kayak gini tenang gue di UI

B : hahahaha . . . gue tunggu di GERBATAMA … oke!

A : wah gue terharu . . . ngapain di GERBATAMA?

B : nyapu jalan ampe aspalnya ilang . . . abisnya masih tanya lo . . . tapi iya ya ngapain nungguin lo?

A : ya gila lo . . . ampe jamannya kucing kawin ama kuda juga gak bakal tuh aspal ilang . . . nah tuh, gue kan uda keterima di UI,ngapain nunggu coba? ah sok-sokan spiik gaya senior nunggu junior SMAnya masuk UI loe!

B : hahaha. . . iye juga . . uda ah kita akhiri perbincangan gila ini.



Demikian percakapan itu berakhir, ketika mereka tersadar, danau nan beautipul itu telah dipenuhi sesak orang-orang yang sedang memadu kasih dengan prinsip “dunia serasa milik sendiri, yang lain ngontrak”. Jadi mo ngapain aja terserah mereka, kan nyang punye dunia mereka, mo depan rektorat kek, depan mesjid kek, dunia dunia gue, terserah gue dong. Sungguh keren kampus ini, ternyata pihak kampus hanya mengontrak lahan perkuliahan dari pemilik dunia, yaitu orang pacaran ( udah mulai ngelindur nih naratornya, balik ke pemuda-pemudanya bang! ). Nah! Walhasil, kedua pemuda itupun terbangun, ternyata semua hanya mimpi, dan ternyata mereka adalah naruto dan sasuke. (APA SIH INI??? )

Catatan untuk Tuhan

Tuhan . . .
Bolehkah aku menulis catatan kerinduan ini ?

Aku rindu masa itu . . .
Ketika aku masih menangis dimanapun kusuka . . .
Bahkan untuk hal-hal yang kukira tidak terlalu berarti . . .

Tuhan . . .
Aku rindu pagi itu . . .
Ketika aku bangun . . . yang kulihat adalah pelukan Ibu yang menyapa hari pagi ku . . .
Ayahku dengan senyumannya yang bersiap untuk bekerja . . .
Kakak-kakak ku yang jahil dan lincah . . .
Kami tertawa bersama . . . tak ada rasa canggung. . .
Hanya anak-anak . . .

Tuhan . . .
Di masa itu yang kurasakan adalah kebahagiaan dan kasih sayang . . .
Tak tau apa itu kerasnya kehidupan . . .

Tuhan . . .
Bolehkah aku rindu masa itu?
Ketika semua yang kulihat hanya kebahagiaan ?

Tapi Tuhan . . .
Sekarang aku sadar . . .
Aku bukanlah anak pada masa itu lagi. . .
Pundakku telah berat oleh beban . . .
Nafasku yang keluar selalu terengah-engah mengejar ini dan itu . . .
Tentang target dan kesuksesan . . .

Ibu . . .
Anak kecilmu ini sudah dewasa Bu . . .
Ketika tanganmu kukecup lalu melangkah keluar pintu. . .
Aku bukanlah anak kecil ibu lagi . . .
aku milik mereka . . . aku milik kehidupan. . .

Ibu . . .
Maaf jika ibu hanya bisa melihat kelelahanku . . .
Rasa jengkel ini, teriakan itu . . .
Bukan senyuman dari anakmu . . . orang yang ibu sayangi . . .

Ibu . . .
Selain kata maaf. . .
Rasa sayang ini yang selalu menyelamatkanku, ibu . . .
Rasa sayang ini pula yang selalu menguatkanku untuk tidak menangis didepanmu . . . Betapa menyedihkannya anakmu yang belum bisa sepenuhnya membahagiakanmu . . .

Senyumlah ibu . . . senyumlah didepanku walau ibu sedang lelah . . .
Bohongi aku ibu . . . jangan perlihatkan kesedihan didepanku . . .
Tetaplah terlihat tegar walau apapun keadaanmu ibu . . .apapun yang terjadi padaku . . .
Hanya itu yang menguatkanku ibu . . .

Ayah . . .
Aku tau dibalik wajah kerasmu itu, kau selalu memperhatikanku . . .
Walaupun ayah banyak diam . . .
Tapi . . .
tiap kali kubuka pintu ketika pulang, aku tau ayah diam-diam mengintipku untuk sekedar memastikan keadaanku baik-baik saja. . .
Caramu memang berbeda untuk rasa sayang itu . . .
Terimakasih ayah . . . karena rasa sayang ayah mampu aku nikmati . . .

Ayah . . .
Inilah anakmu sekarang ayah . . .
Bukan seorang anak yang bisa ayah ajak ke bengkel bersama lagi tiap sepulang sekolah . . .
Atau berjalan-jalan sore tanpa tujuan, atau sekedar melihat televisi bersama dirumah . . .

Ayah . . .
Maafkan aku jika aku kurang memperhatikanmu sebanyak ayah memperhatikanku . . .
Tapi percayalah ayah . . . ditiap doa-doaku kepada Tuhan, ayah selalu ikut hadir dan mewarnai kata-kataku kepada-NYA . . .
Aku sayang ayah . . .

Kakak ku . . .
Masih ingatkah dulu ketika malam tiba, adik kecilmu ini mulai ketakutan karena gelap?
Dengan baiknya kakak membukakan pintu kamar dan membiarkanku tidur disampingmu agar aku tidak takut lagi . . .
atau ingatkah ketika kita membuat istilah-istilah baru? Permainan baru? Kakak selalu memaksaku untuk melakukan ini dan itu . . . kita tertawa dan menangis bersama . . .
jahilku untuk kakak . . . keisengan kakak untukku . . . kita berbagi . . . kita bekerjasama . . . kita satu kandungan . . .

kakak . . .
tidak jarang kakak marah-marah hanya karena aku mengotori ruangan . . .
atau karena aku melakukan tindakan-tindakan aneh di depan teman-teman kakak . . .
sehingga kakak jadi malu . . .
semua itu karena aku ingin mendapat perhatian kakak . . .

kakak . . .
kini kita sudah beranjak dewasa . . .
tidak ada lagi permainan di halaman . . .
atau kejengkelan-kejengkelan anak-anak lagi. . .

aku sedih kak . . .
terkadang kita saling curiga, saling iri, berkompetisi ini dan itu . . .
aku percaya kalau kita pasti akan berhasil pada masanya nanti . . .
kita orang-orang hebat dengan kemampuan masing-masing yang hebat pula . . .
dengan bekerjasama, dengan berbagi, kita adalah yang terhebat . . .

kakak . . .
usia ini membuatku belajar banyak dan mengerti arti kerasnya kehidupan . . .
aku sedih tiap kali melihat kakak lelah sehabis bekerja, atau ketika banyak beban pikiran karena tugas-tugas yang menumpuk. . .
aku sayang kakak . . .
tetaplah semangat kak . . . kita bersama-sama sedang berjuang dan akan saling membantu . . .

kak…
terimakasih untukmu yang selalu memberiku perhatian…
air minum itu, makanan itu yang selalu ada ketika aku lelah . . .
atau bantuan tugas-tugas yang tidak tau lagi bagaimana harus kukerjakan,
informasi dan motivasi yang selalu kau berikan, dan pelajaran yang selalu kuambil dari aktivitasmu kakak . . .

kakak . . . .
terlalu banyak bantuan kau berikan untukku . . .
tapi aku hanya bisa membantu menjadi pendengar ketika kau gundah, atau menemanimu ketika jenuh . . .
atau bahkan aku belum membantu apapun untukmu?
Adik macam apa aku ini?

Maafkan aku kakak . . .
Aku belum terlalu baik menjadi adik . . .
Dan terimakasih atas kasih sayang selama ini untuk adikmu . . .

Untuk makhluk kecil pembawa warna baru di kehidupanku yang penuh beban ini,
Kamu akan selalu aku sayang. . . tingkah lakumu membawa tawa dan senyum dari lelahku . . .
Walaupun terkadang menjengkelkan . . . tapi sosokmu tak bisa lagi dipisahkan dengan keluarga ini . . .

Tuhan . . .
Itu tadi catatan kerinduanku . . .
Tentangku. . .
Tentang ibuku yang tak mampu kucatat kecintaanku terhadapnya walaupun ketika semua dedaunan di dunia bersedia menjadi kertas. . . .
tentang pengorbanannya dan rasa sayangnya yang takkan mampu kubalas dengan apapun. . .
Tentang ayahku dengan segala pelajaran yang kudapatkan dan tanggung jawab yang kupelajari darinya . . .
dan tentang rasa cintaku kepadanya . . .
tentang kakakku dengan bantuannya serta kerjasama kami . . . dan tentang tawa, canda itu
aku sayang kakak. . .
dan terakhir untuk makhluk kecil ini . . . tentang warna baru yang selalu memberikan lukisan abstrak di hidupku . .
aku sayang si kecil ini . . .

inilah keluargaku dan rinduku saat dulu dan rasa sayangku yang takkan berubah dari dulu sampai nanti . . .

8 september 2008 / 10:48 PM

Nasib Seorang Kesatria Berjubah Hamba

Telingaku mendengar sayup-sayup melodi kegundahan tanpa lirik

Jari jemariku menari-nari diatas dinamika kehidupan saat ini

Mataku semakin melemah menahan beratnya beban waktu yang menindih

Mulutku . . . aku tak tahu . . . hanya terdiam membisu dalam rongga keheningan

Hanya nafasku yang seolah tidak memperdulikan apapun. . .

hanya menghembus dan menghisap secara berulang-ulang . . .

membosankan . . . namun selalu memberikanku kehidupan . . .



itukah denting penantian yang aku harapkan?

Dan hal-hal membosankan itu yang akhirnya selama ini menggerogoti

Ditengah keegoisanku aku membohongi kesatria berjubah hamba

Yah . . . aku memang egois . . .

Mempercayakan kehidupanku dan cintaku pada lirikan dewi takdir . . .

Tapi. . . aku percaya bahwa nanti akan bahagia . . .

Tunggu . . . . bagaimana kesatria itu?

Tentu saja menderita . . . .



Yah inilah aku dan keegoisanku . . .

Dan kesatria itu ?

sebenarnya dia seorang hamba . . . . dialah aku . . .

Tabung 3 Kg - ku yang NAKAL

Dewasa ini tidak jarang kita lihat atau kita dengar di berbagai media mengenai kritikan tentang kebijakan pemerintah dalam hal pengkonversian bahan bakar minyak ke gas. Kritikan-kritikan itu didasari oleh makin maraknya kasus-kasus yang berdampak buruk terhadap masyarakat yang timbul akibat public policy tersebut.

Berdasarkan definisinya, konversi minyak tanah menjadi gas elpiji merupakan salah satu program pemerintah yang secara khusus dimaksudkan untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna meringankan beban keuangan negara. Dari definisi tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa tujuan dari pemerintah adalah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Mengapa harus dilakukan hal tersebut? Jawabannya adalah karena terjadi lonjakan harga minyak dunia, akibat dari hal tersebut APBN pun menjadi meningkat sehingga pemerintah harus mengeluarkan sekitar 50 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak. Sangat menarik jika kita perhatikan kebijakan konversi ini, dengan pelaksanaan konversi minyak ke gas, pemerintah mampu menghemat biaya subsidi bahan bakar minyak lebih dari 20 triliun per tahun. Cukup membantu melihat kondisi perekonomian kita yang masih belum stabil.

Pernyataan diatas adalah keuntungan dari segi ekonomi jika kita lihat hal tersebut dalam tataran makro. Keuntungan inipun dapat ditarik menjadi lebih mikro hingga sampai pada tataran konsumen. Maksudnya adalah bagaimana kita melihat dampak konversi tersebut dalam kerangka untung dan rugi bagi rakyat secara individu atau biasa kita sebut sebagai konsumen. Harga minyak tanah saat ini yang masih beredar berkisar pada harga Rp 2.500 per liter, hal itu dapat dirasakan masyarakat dari harga pokok minyak sendiri yaitu Rp 6.000 per liter yang dikurangi subsidi pemerintah sebesar Rp 4.000 per liter lalu dikurangi dengan keuntungan dari penjual yaitu Rp 500 . jika dirumuskan secara matematis maka akan tampak seperti ini:

Harga pokok ( Rp 6.000 ) – {subsidi pemerintah ( Rp 4.000 ) - keuntungan penjual ( Rp 500 )} = Harga minyak tanah yang beredar ( Rp 2.500 )


Demikianlah sehingga harga minyak yang beredar adalah Rp 2.500 per liter, namun dengan adanya konversi minyak ke gas, konsumen mampu menghemat hingga Rp 700 karena harga gas elpiji hanya Rp 1.800 per liter. Hal itu mampu menguatkan pemerintah dan masyarakat bahwa konversi minyak ke gas ini merupakan salah satu solusi dalam menanggulangi masalah perekonomian di Indonesia.

Lalu ketika kita dipaksa untuk melihat kembali berbagai kasus tentang ledakan bom elpiji 3kg di dapur-dapur rumah masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih berpeluang untuk meledak kembali, seolah-olah secara otomatis timbul sebuah pertanyaan besar bahwa apakah penghematan itu merupakan harga yang pantas untuk membayar nyawa-nyawa yang hilang akibat dari ledakan tabung gas elpiji tersebut?

Sebenarnya jika kita perhatikan tujuan dari konversi itu sendiri adalah sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat. Namun faktanya, apakah definisi dari konsep mensejahterakan ini telah benar-benar dirasakan oleh masyarakat? Sejahtera adalah ketika masyarakat mampu merasa nyaman dan aman menanggapi suatu kebijakan, bukan merasa khawatir ketika tiap kali menghidupkan kompor yang ada di dapur, apalagi hingga nyawa seseorang beserta berbagai hak-hak nya baik hak asasi manusia, hak sipil dan politik yang dia miliki hilang bersamaan dengan meledaknya tabung gas elpiji. Hal ini bukanlah definisi yang seharusnya dari konsep mensejahterakan, malah bisa dibilang bahwa keberadaan kebijakan konversi dari minyak menjadi gas tersebut merupakan sebuah terror yang mengancam bagi masyarakat.

Maraknya kasus ledakan gas elpiji 3Kg yang sudah tersebar kabarnya di berbagai media di seluruh Indonesia ini diindikasikan karena kekurang siapan dari pemerintah. Banyak ditemukan tabung gas serta aksesoris-aksesoris yang didistribusikan kepada masyarakat yang masih tergolong tidak memenuhi standar mutu atau belum memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam penerapannya, aksesoris gas elpiji yang sampai ke tangan masyarakat seolah-olah dipaksakan untuk layak. Bagaimana bisa barang-barang tidak layak pakai diberikan kepada masyarakat yang ternyata latar belakang dari pemerintah adalah untuk berhemat. Salah satu syarat sebagai suatu negara itu adalah memiliki rakyat yang berdaulat, jika semua rakyatnya mati meledak karena tabung gas elpiji, bagaimana Indonesia ini bisa disebut sebagai negara? Bagaimana dengan kelangsungan NKRI? Yang dapat kita bayangkan bahwa Indonesia ini kembali dijajah oleh negara lain dan dijadikan daerah militer sebagai markas pembuatan bom gas elpiji 3Kg yang digunakan untuk melawan negara lain dalam peperangan.

Hal lain yang dapat kita amati sebagai salah satu bentuk ketidaksiapan pemerintah adalah dalam hal sosialisasi kebijakan ini hingga bisa sampai pada tataran grass root. Pemikiran yang perlu digunakan ketika melihat suatu kebijakan adalah coba lihat dengan sisi sosial dan kebudayaan masyarakat yang ada. Jangan dengan mudahnya mengeluarkan kebijakan publik yang notabene hal itu menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan sebelumnya masyarakat Indonesia menggunakan minyak untuk keperluannya sehari-hari, dengan sistem mengganti minyaknya, sumbu kompornya dan cara menyalakan api kompornya serta segala tetek bengek yang menyangkut minyak dalam kehidpuan sehari-hari. Hal itu sudah tertanam dalam benak masyarakat yang tidak bisa dengan mudahnya digantikan dengan hal yang baru tanpa ada proses sosialisasi yang mendalam. Dan jika kita perhatikan, orang-orang kelas menengah kebawah lah yang masih mendominasi menggunakan minyak, hal ini berlainan dengan masyarakat upper class yang sudah cukup lama mengenal tabung gas beserta aksesorisnya sehingga tidak perlu adanya perkenalan yang signifikan lagi. Tetapi, sosialisasi di televisi dan perangkat pemerintah daerah seperti kelurahan seolah tidak mampu menembus sampai pada tataran masyarakat yang seharusnya perlu dicerdaskan. Hal itu terjadi karena masyarakat marginal ini bisa dikatakan belum memiliki televisi atau pemerintah daerah yang mensosialisasikan dengan bersifat elitis saja.

Seandainya nenek kita yang tiap harinya menggunakan kayu bakar dan minyak untuk menanak nasi tiba-tiba diberi tabung elpiji untuk menanak nasi, bukan tidak mungkin yang dahulunya menyalakan api di kayu bakar dengan memantiknya, sekarangpun akan memantik api di kompor gas walhasil meledaklah. Maksud contoh ini bukan untuk mendramatisasi atau melebih-lebihkan, tapi cultural shock memang pasti ada, apalagi masyarakat menengah kebawah yang tingkat pengetahuannya masih perlu dicerdaskan yang sudah bertahun-tahun terbiasa dengan menggunakan minyak, hal itulah kenapa sosialisasi secara menyeluruh ke berbagai tingkatan kelas sosial itu penting.
Kembali kepada pokok permasalahan awal adalah apakah sebanding nyawa seseorang itu dengan penghematan yang ingin dilakukan oleh pemerintah? Kalau jawabannya kita kembalikan kepada tujuan dari konstitusi yaitu untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, maka konversi minyak ke gas inipun belum menjadi jawaban masyarakat menuju ke ranah sejahtera, malahan bisa diakatakan dengan adanya konversi ini masyarakat masih merasa sengsara. Dan kalau memang masih terus ingin melanjutkan kebijakan ini, tolong dengan sangat kepada pemerintah untuk benar-benar mencerdaskan secara bertahap atau sosialisasi dengan jangka waktu yang cukup agar masyarakat benar-benar mengerti, jangan malah dijadikan kelinci percobaan pemerintah saja. Selain itu harus ada pengawalan yang ketat dalam proses pendistribusian tabung gas beserta aksesorisnya agar tidak ada oknum yang menyelewengkan. Jadilah pemerintah yang total dalam melaksanakan kebijakan. Jangan hanya setengah-setengah dan hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Dan saya ingatkan kembali, total disini bukan berarti totaliter.

Genderang Universitas Indonesia











Universitas Indonesia, universitas kami

Ibukota negara, pusat ilmu budaya bangsa

Kami mahasiswa, pengabdi cita

Ngejar ilmu pekerti luhur ‘tuk nusa dan bangsa

Smangat lincah gembira

Sadar bertugas mulia

Berbakti dalam karya

Mahasiswa

Universitas Indonesia perlambang cita

Berdasarkan pancasila, dasar negara

Kobarkan semangat kita demi ampera


Senin, 26 Juli 2010

mimpi bersama

Saudaraku…
ini hanya sebuah tulisan,
mungkin hanya sebuah rangkaian kata yang tidak terlalu berarti
tapi aku benar-benar ingin mencurahkan isi hatiku.. kegundahanku selama ini…
lewat tulisanku ini….

saudaraku…
bukankah kita pernah bermimpi bersama…
aku yakin, dibenak kalian selalu ada tempat untuk mimpi itu…
angan-angan kita untuk membuat mimpi itu menjadi nyata dan menjadi yang terbaik…
Aku yakin saudaraku…
aku yakin pada kalian…
aku berani bermimpi… Semua itu karena ada kalian disisiku…

saudaraku…
aku bukan yang terbaik…aku bukan yang tau segalanya
untuk itulah kita bersama…

Tapi…
Akhir-akhir ini kita jarang bermimpi bersama lagi…
Sungguh…
Aku rindu masa kita bisa bersama..
Berkeringat dan berangan...
Aku dan kalian….
Kita…
Berkumpul bersama lagi…
Aku butuh kalian saudaraku…

Maafkan aku atas tulisan ini….
Tentang sebuah catatan kecil ini…

-affin-

Selasa, 13 Juli 2010

Cinta ,Maya, dan Kata

Kudengar berbagai suara kebimbangan cinta dalam lantunan melodi kepedihan

Berbagai bait dan kata terangkai dalam upaya pembenaran atas pengingkaranku

Sudah cukup lelah kata-kata itu menjadi tameng sutra keadaan

Satu…

Dua…

Tiga…

Empat…

Seratus…

Kisah pembualan atas bisikan-bisikan kebimbangan yang terus kubuat

Tanpa penyesalan dan kekecewaan



Drama romantika melankolis yang terkadang memuakkan, membuatku lari

Selimut penutup kubentangkan… kututupi diriku dari kenyataan…

Aku tak mau berpijak…

Aku tak ingin bercermin jika yang memantul hanyalah kesedihan…

Cukup dengan kata aku mengungkap segalanya…

Aku tau aku belum…

Aku tau aku tidak…

Itulah…

Pembualan, pengingkaran, dan pengekangan ini cukup untukku saat ini...

Menelusuri kehidupan nyata dengan menutup cinta…

Kuubah cinta dengan maya

Dan kuubah maya dengan kata

Saat ini… hanya itu yang aku perlukan…

Senin, 05 Juli 2010

sebuah catatan tinta darah dari seorang terlunta-lunta

Erangan kecil kepedihan mengoyak raungan malam tenang tak bersuara
pejalan kaki berjalan terseok-seok bertanya kepada malam yang tak menjawab
apa gerangan membuatmu meraung??


kembali lagi pejalan kaki itu berjalan, melihat bintang indah bagian malam...
cahayanya membelai-belai kedamaian menimbulkan kerinduan namun dia berada dalam raungan malam...

pejalan kaki itu kembali bertanya
apa gerangan membuatmu meraung??

dengan darah mengucur menyapu keringat mencoba meraih bintang...
meloncat..menangis..putus asa...berlari...
namun tetap saja bintang itu indah dan malam meraung menggambarkan kepedihan...


sekali lagi pejalan kaki itu bertanya
apa gerangan membuatmu meraung??


tak ada jawaban...
pejalan kaki itu memejamkan mata merenung...merintih..menan
gis...
merindukan bintang diantara malam yang meraung....


malam ta menjawab...bintang ta tergapai...


ketika pejalan kaki itu membuka mata....
matahari hangat menyelimuti rumput-rumput berembun dipagi hari...

dimana bulanku?

Minggu, 04 Juli 2010

Sendal jepit.... Alat Simbolik







Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah kenapa harus sandal swallow yang digunakan dalam menyampaikan pesan diatas. Dalam ilmu sosial, kita mengenal seorang tokoh sosiologi yaitu George Herbert Mead, beliau memiliki pandangan mengenai interaksi sosial, yaitu metode interaksionisme simbolik. Metode ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial dimana proses interaksi dalam suatu masyarakat menggunakan simbol-simbol didalamnya. Dalam penyampaiannya, pendefinisian simbol-simbol itulah yang sangat berperan penting. Menurut Leslie White, simbol-simbol itu memiliki makna dari definisi sosial yang nantinya akan menjadi pesan kepada masyarakat. Selain itu, menurut Herbert Blumer, pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga yaitu:


1. Bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Atas dasar itu perlakuan seekor hewan sapi oleh penganut agama Hindu akan berbeda dengan perlakuan sapi oleh penganut agama Islam karena makna sapi dari masing-masing agama berbeda.
2. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.
3. Makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran.
(Sunarto, Kamanto. 1990. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.)

Itulah yang menjadi dasar penggunaan sandal swallow dalam penyampaian mengenai pesan kesederhanaan ini. Simbolisasi sandal swallow ini bukan ditujukan sebagai media iklan suatu produk karena sebenarnya fungsi dari sandal swallow dan sandal-sandal dari produk yang lain adalah sama yaitu sebagai alas kaki. Jadi sebelumnya, yang ditekankan disini adalah proses terjadinya penafsiran makna sandal swallow itu sendiri oleh masyarakat, bukan sebagai bentuk mempromosikan kualitas dan mutu yang dimiliki oleh sandal ini.

Berdasarkan pengertian mengenai interaksionisme simbolik inilah maka memang perlu adanya suatu simbol yang digunakan dalam menyampaikan kesederhanaan sebagai sarana untuk melakukan penyadaran terhadap kebobrokan jaman modernitas dan globalisasi yang serba instan dan konsumtif serta egoisitas terhadap materialistis duniawi yang melambung tinggi diatas nilai kemanusiaan dan hati nurani. Inilah sandal swallow, sebuah benda yang selalu menjadi teman oleh kaum terpinggir dalam mengais rezeki kehidupannya. Penafsiran sandal swallow yang memiliki makna sebagai simbolisasi kesederhanaan adalah karena sandal ini biasa digunakan oleh masyarakat kelas menengah bawah atau lower class dalam strata sosial. Sandal ini digunakan mulai dari aktivitas bertani, sopir angkot, pedagang kaki lima, dalam mewarnai aktivitas kehidupan masyarakat tersebut, dan tidak jarang pengemispun menggunakan sandal ini. Itulah yang memberikan stereotipe bahwa sandal swallow adalah sandal rakyat jelata dan tidak pantas dipakai untuk acara-acara besar ataupun kegiatan masyarakat upper class secara keseluruhan.

Dalam aktivitasnya, penggunaan sandal swallow ini oleh “kaum atas” hanya digunakan untuk hal-hal yang sekiranya berada pada waktu dan tempat yang tidak disoroti oleh orang banyak seperti ketika akan ke toilet atau biasa diberi julukan sebagai sandal WC, sebagai sarana yang dipakai dari tempat wudlu ketempat untuk beribadah sholat, dan digunakan diwaktu-waktu nonformal yang tidak banyak diberlakukan peraturan-peraturan kesopanan yang mengawasi. Hal tersebut karena dirasa ketika menggunakan sandal ini untuk beraktivitas, masyarakat telah melakukan tindakan yang menyimpang dan melakukan ketidaksopanan. Dalam dunia institusi yang memberikan naungan dari suatu kelompok orang, hal tersebut dianggap telah menodai institusi dari tempat mereka berada.

Itulah kenapa saya, sebagai salah satu orang yang prihatin dan peduli (walau saya tau kemampuan dan pengetahuan saya tidak seberapa untuk prihatin dan peduli) dengan keadaan dan kesadaran masyarakat jaman tua saat ini yang identik dengan mendongakkan kepala tanpa mau sedikit menunduk untuk melihat saudara mereka yang sebenarnya sangat membutuhkan uluran tangan mereka barang sedikit saja. Dalam melakukan pergerakan untuk penyadaaran inilah metode interaksionisme simbolik saya gunakan. Dengan berdasarkan bahwa tafsiran masyarakat mengenai sandal swallow memiliki makna yang identik dengan rakyat miskin, saya aplikasikan sandal swallow itu dalam berbagai aktivitas kehidupan saya. Mulai dari perkuliahan yang tidak jarang dosen-dosen menegur saya karena dirasa saya menodai proses perkuliahan dengan tidak mematuhi peraturan kampus yang artinya saya tidak sopan. Selain itu dalam pergaulan, berkumpul dengan teman bermain di daerah hedon dengan dikelilingi kaum jetset, acara-acara yang cukup resmi, saya gunakan sandal tersebut untuk sekedar mengingatkan mereka bahwa kehidupan bukan hanya didominasi oleh eksistensi mereka saja, tapi masih ada orang miskin diluar sana yang memerlukan mereka dan orang yang membela dan memperjuangkan kaum miskin tersebut juga masih akan selalu ada.

Dengan idealisme tersebut, saya pernah suatu ketika datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengikuti sidang Judicial Review UU BHP yang putusan hasil JR tersebut menyatakan bahwa UU tersebut tidak sejalan dengan konstitusi. Ketika hendak masuk kedalam gedung persidangan dengan sandal swallow yang saya kenakan, saya sempat diberhentikan dan dilarang untuk masuk kedalam oleh petugas keamanan disana. Namun sayapun mengatakan sebagai berikut kurang lebihnya : “Maaf Pak, bukan maksud saya tidak menghormati Mahkamah Konstitusi, tapi sandal ini simbolisasi dari eksistensi rakyat marginal pak, orang miskin.” Saat itu petugas keamanan gedung tersebut terdiam, dengan mimik wajah yang masih bimbang dia mengijinkan saya untuk masuk kedalam gedung tersebut.


Beberapa pengalaman tersebut merupakan bentuk interaksi sosial atau metode penyampaian pesan suatu makna tentang kemiskinan kepada khalayak ramai. Bukan hanya aksi massa untuk menyuarakan aspirasi golongan termarginalkan. Dengan melakukan pergerakan-pergerakan lainnya secara cerdaspun kita mampu mewakili masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dewasa ini, cukup sulit bagi saya untuk mencari sandal swallow lagi. Ketika nanti jika kalian kebetulan bertemu dengan saya, dan tidak memakai sandal swallow dan jenis sendal lainnya, seperti cerita saya, ada beberapa kemungkinan saat itu yang bisa ditafsirkan untuk saya. Bahwa saya sudah tidak lagi menggunakan interaksionisme simbolik dalam pergerakan saya yang artinya metode pergerakan yang ini sudah selesai saya gunakan. Atau bisa juga saya sudah mencapai batas akhir pencarian sandal swallow yang kita tahu ternyata dengan adanya kebakaran pabrik sandal ini, produk yang dipasarkan menjadi berkurang (sampai saat ini ketika saya menulis tulisan ini). Atau bisa juga saya sudah tidak memiliki idealisme ini dan berpihak pada keadaan hedonisme. Tapi apapun merk sandalnya, saya akan selalu berusaha menggunakannya, saya akan mencoba menjadi sosok orang yang sederhana dengan gadget yang sederhana pula entah saya memang benar-benar hanya memiliki harta yang sesuai dengan kesederhanaan itu ataupun ketika saya sudah dalam keadaan diberi rizky yang lebih banyak oleh ALLAH. Semoga saja saya selalu bisa mencoba menjadi orang yang sederhana. Amin.

Pikiran Melanturku tentang HUJAN

Hari ini hujan turun, tidak seperti hari-hari biasanya yang dihiasi oleh terik mentari dalam mewarnai setiap kegiatanku. Aku duduk didepan teras rumahku melihat sekeliling lingkungan yang menjadi sepi karena hujan turun, sepertinya nuansa hujan ini berbeda dengan hujan-hujan yang kualami di Depok sebelumnya. Ada apa? Apa yang membuat hujan ini berbeda?

Ketika aku berusaha membuka brangkas memori dalam otakku untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu, tiba-tiba seorang ibu paruh baya berpayung dengan sayur-sayuran yang ditenteng-tenteng, mungkin dari pasar. Sambil berjalan kesal dan dengan muka yang ditekuk, dia menggerutu tentang cuaca yang tidak menentu. “Hujannya kok turunnya gak jelas sekarang ini.” Seperti itulah yang dia katakana sembari melewati aku yang masih duduk berkonsentrasi mengamati polah-tingkah ibu itu yang hanya melintas sekitar 30 detik didepan mataku.

Terngiang ucapan dari ibu tadi dan kucerna baik-baik sembari masih mencari jawaban atas pertanyaan awalku tadi. Lalu kupaksakan untuk menghubung-hubungkan perkataan ibu tadi dengan ingatan-ingatan tentang pengetahuanku yang masih terbatas mengenai persoalan climate change dan global warming. Ya, dulu ketika aku masih duduk dibangku SMA jurusan Ilmu Alam pelajaran tentang iklim dan cuaca pernah aku dapatkan. “Tunggu!” Sesaat setelah itu aku mulai tersadar bahwa pengetahuan itu kudapatkan dari pelajaran Geografi yang diajarkan di tahun pertamaku sekolah di SMA yang selanjutnya mulai kuperdalam di tahun ketigaku ketika akan masuk ke perguruan tinggi, walaupun mungkin dulu aku dari jurusan Ilmu Alam tetapi menjelang akhir aku mulai membelot dari jurusan tersebut dan berpaling ke Ilmu Sosial.
Pelajaran mengenai Iklim dan Cuaca itu lalu aku hubungkan kembali dengan mata kuliah yang aku dapatkan mengenai global warming dan climate change yaitu mata kuliah Sistem Sosial Indonesia. Ternyata yang keluar dari ingatanku mengenai perihal tersebut adalah dampak dari global warming itu sendiri. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengetahui pengertian serta faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya global warming. Dengan berlandaskan ilmu sosial yang aku miliki, dan keinginan untuk mengangkat eksistensi dari disiplin ilmu tersebut, maka akupun sedang ingin untuk berkutat pada dampak sosial dari global warming walau tidak menutup kemungkinan dilain waktu aku akan dengan senang hati meluangkan waktu untuk mempelajari dampak alam maupun dampak lainnya yang terkait dengan global warming karena memang antara satu hal dengan yang lain sangat berhubungan.

Ada beberapa dampak sosial yang mungkin dapat terjadi, salah satunya adalah meningkatnya angka kelaparan di negara kita ini yang memang sudah haus akan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan gagal panen dan krisis air bersih yang memang melanda akibat global warming. Dengan adanya kelaparan tersebut mengakibatkan tingkat mortalitas dari penduduk semakin bertambah, selain itupun berdampak meningkatkan gelandangan dan kemiskinan. Global warming pulalah yang mengakibatkan melemahnya kemampuan anak untuk berangkat sekolah. Hal itu dikarenakan untuk mendapatkan sesuap nasi dengan keadaan dimana terjadi gagal panen akan sangan sulit. Harga sembako pastilah akan naik, sehingga mau tidak mau orang tua akan meminta anak-anak mereka untuk membantu mereka mencari nafkah untuk membeli sembako yang harganya melambung. Bagaimana negara ini akan semakin maju jika presiden nantinya tidak bersekolah? Bagaimana negara ini akan menuai kesuksesan besok, jika calon pemimpin-pemimpin bangsanya malah diminta oleh orang tuanya untuk mencari nafkah ketimbang sekolah.

Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini baik orangtua maupun dari anak itu sendiri, ini adalah suatu bentuk fenomena sosial yang memang diakibatkan oleh keadaan dan mereka tidak memiliki pilihan selain memenuhi hasrat mendasar yang dimiliki makhluk hidup yaitu bertahan hidup. Yang menjadi pihak utama untuk dimintai pertanggung-jawaban adalah mereka oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya mementingkan kantong mereka sendiri tanpa berfikir akibat apa yang akan timbul dari kelakuan brengsek mereka. Melihat hal ini, cukup disayangkan pula ketika melihat kebijakan pemerintah yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memang mengatur tentang lingkungan hidup yang dewasa ini belum ditegakkan dengan maksimal. Sangat sedikit pelaku-pelaku kejahatan lingkungan tersebut yang ditangkap dan diproses dan akhirnya dipenjarakan untuk mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Itulah yang mestinya menjadi introspeksi dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk semakin memperbaiki kinerjanya walaupun memang kejahatan lingkungan sangat sulit diproses. Selain itu dari pihak masyarakatpun wajib untuk membantu pihak berwenang dalam menegakkan dan mencintai lingkungan ini, dengan mengolah alam secara adil dan seimbang dan melakukan pembangunan yang meminimalisir terjadinya dampak buruk terhadap generasi selanjutnya, selain itu aksi konkritnya mungkin dengan mulai membuang sampah di tempatnya, melakukan daur ulang dan menggunakan angkutan umum untuk mengurangi polusi udara.

Sepertinya pikiranku mulai melantur jauh sampai keranah teoritis ini, aku mulai tersadar bahwa masih ada pertanyaan yang belum terjawab dari diriku sendiri. Dan akhirnyapun aku terdiam, kembali fokus pada pertanyaan awalku, mencoba membuat suasana sedamai mungkin dengan ditemani suara tetes hujan yang berlomba-lomba memburu aspal jalan. Dengan suara gemuruh angin yang membawa tetes-tetes air hujan terombang-ambing kekanan dan kekiri entah akan dibawa kemana. Kupejamkan mataku yang cukup banyak melihat berbagai kejadian logis dan tidak logis didunia ini. Tenang dan sunyi, aku mulai masuk ke alam di sisi wilayah teramanku. Inikah jawabannya? Inikah jawaban dari pertanyaan awalku? Tiba-tiba aku tersadar, kubuka mataku dengan senyuman. Ya! Jawabku dalam hati, inilah nuansa yang membedakan dengan hujan yang biasa aku rasakan di Depok sebelumnya.

Sebagian hari-hariku disibukkan dengan berbagai kegiatan duniawi, mengejar pencapaian dan kesuksesan. Tertekan, lelah, dan amarah tidak jarang menghinggap dan menerawang untuk menunggu sedikit saja kelalaianku muncul sehingga mereka bisa dengan leluasa mendominasi sistem kerja dalam tubuhku. Ketika hujan turun, ketika titik air yang jatuh dari langit itu membasahi duniaku, aku sering tak menganggapnya ada, kalaupun kuanggap dia ada, yang kurasakan adalah suatu keadaan sebagai sesuatu yang menghambat mobilitasku dalam beraktivitas. Ketika mulai turun, yang ada dalam pikiranku adalah tentang baju yang mulai basah, celana yang kotor karena air jalanan, sakit dan lain sebagainya. Tak pernah aku menikmati sisi indah dari hujan itu sendiri.

Inilah yang sekarang aku rasakan, duduk di kursi kayu murahan dengan ditemani hujan yang kulihat dengan paradigma yang berbeda dengan sebelumnya. Ya! Inilah perbedaannya.

Ketika aku yang sedang menikmati nuansa hujan dengan kondisi dimana sudah kupecahkan pertanyaan dengan jawabanku sendiri, aku mulai membayangkan tentang pandangan orang mengenai hujan itu sendiri. Stereotipe memperlihatkan bahwa hujan itu identik dengan perasaan sedih, putus asa, dan tangisan. Mungkin karena konsep dasar mereka yang sama yaitu mengeluarkan tetesan air. Lalu pikiran ini kembali liar mengingat peristiwa-peristiwa yang telah lalu ketika hujan turun. Aku mendapatkan satu kalimat yang cukup menarik dilontarkan oleh salah seorang temanku ketika aku masih duduk dibangku SMA. ”aku suka hujan, karena ketika aku menangis ditengah hujan, orang-orang tidak akan tahu kalau aku sedang menangis.” Cukup cerdik juga caranya untuk menutupi kesedihannya.

Kadang ketika seseorang bersedih karena suatu hal, mungkin karena cinta, tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit itu seperti kebahagiaan yang jatuh dari hati masing-masing pemiliknya sehingga hanya kesedihan yang tersisa disana. Mungkin karena kotak cintaku telah lama kosong dan hanya diisi oleh kehampaan, aku tidak terlalu mengerti tentang kesedihan cinta itu. Mungkin perasaan ini sudah bias, bagaimana menyayangi, memaknai dan meratapi cinta. Ketika melihat sekeliling dengan pasangan masing-masing, sahabat-sahabat yang satu demi satu memiliki pasangannya yang mulai kuamati dari pertemuan, masa-masa indah, konflik, lalu berpisah, lalu bersedih. Hal itu seperti suatu fase menurutku, ritus dalam hubungan. Dan aku sendiri, aku mulai lupa bagaimana rasanya sensasi ritus tersebut.

Kembali aku ingat tentang hujan ini yang mampu membawaku ke pikiran-pikiran melanturku. Lalu aku ingin melihat hujan dengan paradigma yang berbeda. Bagaimana hujan mampu memenuhi danau-danau, membawa bibit-bibit tumbuhan untuk segera menampakkan perkembangannya sehingga siap untuk dipanen. Bagaimanapun juga hujan itu indah, mereka membawa rezeky dan kebahagiaan. Aku bahagia kali ini bisa menikmati setiap detil hujan yang jatuh didepanku. Aku bahagia akan hujan. Semoga tiap hujan semakin membawa kebahagiaan untukku dan bangsa ini yang sedang kekeringan oleh keadilan dan kebenaran.

Kamis, 01 Juli 2010

AKTIVIS

dari kak sakti lazuardi wahab...

“..Jika kau tidak bisa terbang, berlarilah. Jika kau tidak bisa berlari, berjalanlah. Jika kau tidak bisa berjalan, merangkaklah, tetapi bagaimanapun juga, teruslah bergerak..”
(DR. Luther Martin King)

Kehidupan para aktivis adalah sebuah medan perang tanpa batas yang melingkari sebuah titik waktu. Tak akan pernah atahu apa yang akan terjadi dan kapan akan selesai. Jalannya penuh onak dan duri dan berliku, tak akan pernah menemui sebuah kelurusan dan kelapangan. Seorang aktivis pun harus terbiasa untuk hidup non-individual. Pikirannya kan selalu dipenuhi dengan frasa “kepentingan masyarakat banyak”. Bahkan terkadang hal itu membuatnya lupa akan dirinya sendiri, lupa akan makannya, lupa akan minumnya, lupa akan kehidupannya. Ruh dan jasadnya menjadi milik bersama, bukan menjadi milik dirinya sendiri. Itulah seorang aktivis.

Ia harus berani mengatakan “Hidup Rakyat Indonesia” dan kemudian meninggalkan kebahagiaan-kebahagiaannya. Di saat kawan-kawannya yang lain menikmati masa muda dengan pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, maka seorang aktivis harus rela berpanas-panasan untuk menyuarakan apa yang selama ini ia anggap sebagai sebuah nilai kebenaran. Keyakinan dan keteguhan akan mempertahankannya menjadi kata kunci kenapa ia mau bersikap demikian, dan terkadang juga ditambahkan dengan iming-iming surga. Itulah seorang aktivis.

Aktivis tidak mengenal cinta, di saat sebagian penuh hidupnya habis di ruang-ruang diskusi. Ya atau setidaknya dia tidak akan menjalani kehidupan cinta yang normal, dengan buku, dengan meja rapat, dengan dinding bisu ia lebih sering bertemu. Bilakah ia bertemu dengan seseorang yang mempesona, tak akan ada waktu untuk menggodanya atau merayunya. Karena sekali lagi ruh dan jasadnya bukanlah miliknya, tapi telah menjadi milik bersama. Ironis? Memang, tapi itulah dunia aktivis yang penuh dengan ratapan dan tangisan. Itulah seorang aktivis.

Sesekali seorang aktivis akan saling curiga, sesekali akan saling tuduh dan sesekali akan saling benci. Pergesekan saling sikut dan saling tuding seolah menjadi bumbu wajib dunia aktivis. Persaingan menuju kursi kepemimpinan tidak jarang membuat satu sama lain lupa bahwa sebenarnya tujuan mereka semua sama, yaitu demi kemaslahatan bersama. Tapi aktivis tetaplah manusia, di saat kesombongan, egoisme sikap dan harga diri menjadi indikator dalam menentukan kualitas hidup. Itulah seorang aktivis.

Ya bagaimanapun seorang ativis tetaplah seorang manusia biasa, mereka membutuhkan kebutuhan-kebutuhan pribadi, mereka membutuhkan kenyamanan pribadi, mereka membutuhkan cinta, mereka membutuhkan penghormatan manusia. Tapi sebenarnya yang terpenting dari itu semua adalah, seorang aktivis hanya membutuhkan “semangat rakyatnya”, karena itu adalah bahan bakar sejati menuju kebahagiaan yang hakiki di akhir nanti. Jalan seorang aktivis adalah jalan berliku penuh onak dan duri yang di akhirnya akan ada sebuah sungai berair manis dan pohon berbuah banyak. Itulah seorang aktivis.

Sabtu, 19 Juni 2010

Cermin Usang Keberuntungan

Malam itu kuambil cermin dari peraduannya di dinding…

aku melihat diriku ditengah angin malam yang membawa samudra mimpi manusia.. .

sang cermin sempat menegur untuk segera menutupkan jendela kehidupanku dan membukanya esok pagi..


aku tau rembulan sedang menungguku menutupkan mata…

dan bersiap membawa anganku yang terlalu melambung tinggi untuk sekedar menahannya dan membawanya pelan ke sekitar daratan agar tak terlalu sakit jika jatuh nantinya…..


“tunggu manis…… malam ini aku ingin bersolek bersamamu dan cermin usang ini…agar besok aku bisa merayu mereka”


Aku bersikukuh untuk menikmati rima malam itu…

Akhirnya denting waktu membawaku menutup mata menunggu belaian hangat sinar mentari yang memantul dari cermin usangku itu…


Pagi itu ketika bercermin, aku ambil senyum dan kepercayaan diri dari orang didalam cermin usangku…

Sedikit egois, tapi aku hanya meminjam sebentar untuk merayu mereka…

Kujejakkan langkah melewati kabut keragu-raguan itu…berkeringat dan penuh keletihan.

aku lupa tidak meminjam keberuntungan dari orang di dalam cermin usangku tadi…

aku sungguh makhluk kerdil yang sangat kurang… aku butuh keberuntungan..


aku lari kewarung keberuntungan ingin membeli keberuntungan…ternyata habis dibeli orang lain

lalu aku kehutan keberuntungan hendak memetik buah keberuntungan… habis dimakan orang lain…

bahkan aku sampai ke kandang keberuntungan untuk menyembelih keberuntungan… tapi ternyata habis digembala orang lain…


terpaksa aku merayu mereka dengan senyum dan kepercayaan diri yang aku pinjam dari cermin usangku tadi…

tapi….

Ketika aku masuk taman mereka untuk merayu…ternyata aku harus bersaing dengan orang lain…

Orang lain itu sungguh lengkap dengan ketampanan… dan keberuntungan yang aku cari-cari…

Akhirnya saat itu aku gagal…


aku tau itu…


aku kembali pulang dan kukembalikan senyuman serta kepercayaan diri itu ke cermin usangku…

sekarang aku hanyalah manusia tanpa senyum dan kepercayaan diri…

Terima Kasih Rembulan….


(19/06/10) |

Peran Mahasiswa dalam Pembangunan Negara


Oleh Muhamad Affin Bahtiar, Kriminologi, 0906561276

Banyak diantara kita memandang gerakan mahasiswa hanya sebatas aksi turun kejalan, dan parahnya aksi turun kejalan hanya dianggap sebagai sumber bencana dan kerusuhan. Sebenarnya apa itu gerakan mahasiswa? Definisi dari gerakan mahasiswa adalah kegiatan melawan atau mangkritisi suatu keputusan atau hal-hal yang pada pemikiran mahasiswa dianggap menyudutkan atau bahkan menyengsarakan rakyat Indonesia terutama kaum marginal yang sepatutnya dilindungi. Tujuan dari gerakan itu sendiri supaya mahasiswa ikut mempengaruhi kebijakan dengan latar belakang intelektual serta idealisme muda yang masih membara agar tidak semakin menyudutkan masyarakat Indonesia. Sebagai mahasiswa awam, mempertanyakan pergerakan mahasiswa sangatlah lumrah terlontar ketika mereka benar-benar ingin terjun kedalam dunia pergerakan dan mengabdi untuk rakyat Indonesia. Lalu dimana mahasiswa awam lainnya? Bukan rahasia pribadi lagi bahwa banyak mahasiswa yang tidak memiliki rasa peduli terhadap keadaan bangsa ini, terutama kepedulian terhadap rakyat marginal. Aphatisme seperti telah mengakar dalam setiap pemikiran mereka yang nantinya mempengaruhi dalam berpolah tingkah.

Jika kita ingin berpikiran kritis dan sedikit keluar dari pemikiran-pemikiran rutinitas yang masuk dalam zona aman kita, bisa dikatakan bahwa mahasiswa jaman sekarang memang “diatur” agar tidak banyak mengeluarkan “pemikiran-pemikiran cerdas mereka” dengan dialihkan pemikirannya untuk memenuhi segala tuntutan dari kebutuhan akademis. Dengan batas waktu kelulusan kuliah yang diberikan, dengan tugas-tugas menumpuk yang harus segera dikumpulkan, mahasiswa “dipaksa” untuk memeras otak mereka demi kepentingan akademis. Tidak ada yang salah dengan hal itu, namun bandingkan dengan pergerakan pada angakatan ’66 atau pada reformasi ’98 dengan keadaan dimana mahasiswa “dibungkam” dan diwajibkan patuh pada rezim diktator, mereka masih saja memiliki semangat pergerakan yang sangat membara. Apakah kesalahan kita adalah pada pergerakan itu sendiri yang semakin tidak menunjukkan esensinya sehingga mahasiswa semakin tidak perduli terhadap isu-isu nasional maupun isu-isu lokal yang ada? Ataukah diri kita yang malas dan lebih memilih mengejar IPK 4 dan lulus 3,5 tahun daripada untuk “meluangkan waktu” yang kita tahu hal itu tidak akan terlalu mengganggu sepak terjang kehidupan akademis kita dan hal itu akan sangat sebanding rasanya ketika masyarakat kita sejahtera. Dalam membela kepentingan rakyat Indonesia, jika kita kerucutkan ternyata mahasiswa sebagai kaum terpelajar merupakan anak yang terlahir langsung dari rahim rakyat. Jika memang seperti itu, melihat keadaan pada saat ini berarti sungguh durhaka kita sebagai mahasiswa.

Berdasarkan pernyataan diatas, terdapat dua faktor yang menyebabkan banyaknya pihak yang tidak perduli terhadap gerakan mahasiswa, karena model pergerakan sendiri secara general atau dari masing-masing pribadi individu. Model gerakan disini yang dimaksud adalah pergerakan mahasiswa kini telah kehilangan esensinya. Ada anggapan mengenai hal ini, pergerakan pada saat ini masih menggunakan pergerakan yang konvensional dan cenderung tidak sadar terhadap perubahan jaman atau dapat kita katakan bahwa kita belum habisnya merasakan uforia reformasi ’98 yang kita tahu bahwa keadaan sangatlah dinamis dan kita tidak bisa menyamakan dengan keadaan pada waktu yang lampau. Ideologi nasional saja sudah berbeda, ada rezim otoriter pada masa orde baru sehingga sebuah aksi massa itu terlihat sangat “tidak lazim” dalam kehidupan yang serba membungkam. Hal itu sangat bertolak belakang dengan saat ini, banyak masyarakat yang menilai pergerakan mahasiswa sekarang hanya sebatas acara seremonial belaka, sebagai “bumbu” demokrasi di Indonesia. Mungkin juga karena pada saat sekarang, kenyataannya belum ada langkah konkrit yang kita lakukan untuk Indonesia yang dapat dirasakan rakyat Indoneisa secara signifikan. Selain hal tersebut apakah kita tahu bahwa pergerakan yang kita lakukan ternyata telah melupakan hal terpenting dari perjuangan itu sendiri, kecenderungan mahasiswa pada saat ini sangat bersemangat untuk membicarakan masalah isu-isu pada tingkat nasional dan alangkah meruginya kita ketika membuka pintu rumah, siap untuk menggembar-gemborkan tentang segala isu penting negara dan ternyata kita tidak pernah memperhatikan bahwa tetangga rumah kita sendiri masih ada yang membutuhkan kecerdasan dan intelektualitas kita, kaum yang sangat dekat dengan keseharian kita. Maksud dari hal ini bahwa walaupun isu-isu nasional itu sangat penting dan mendesak tapi jangan pernah melupakan isu-isu kehidupan rakyat lokal yang ternyata masih sangat termarginalkan.

Pembangunan nasional sangat erat kaitannya dengan peran mahasiswa. Sejauh ini ada tiga pokok peran mahasiswa yang “seharusnya” disadari oleh semua masyarakat civitas akademika, yaitu : Agent of change, Iron stock, Social force. Sebagai masyarakat yang memiliki pendidikan lebih dari masyarakat yang lain, mahasiswa dituntut menjadi seorang agen perubahan, atau bisa kita katakan sebagai pembuat perubahan. Ketika suatu kebijakan dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD ’45 sebagai pembuat kesejahteraan masyarakat, maka mahasiswa harus mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan sesuai dengan apa yang menjadi bahan resolusi tandingan dari suatu konsep isu yang telah dikaji dan didiskusikan secara matang baik dari dampak positif maupun negatifnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pergerakan bukanlah suatu tindakan tergesa-gesa yang selalu mempermasalahkan pemerintahan saja dan kadang terkesan selalu menjadi pihak oposisi. Namun sebagaimana diketahui, kita bergerak dengan cerdas, kita mempunyai bahan untuk dipertanggung jawabkan dalam pergerakan itu sendiri karena sudah tidak jamannya ketika mahasiswa hanya memaparkan suatu konsep saja tanpa ada solusi yang jelas. Hal ini sangat terkait dengan tugas mahasiswa dalam mengawal dan mengontrol pemerintahan dan kaum birokrat agar sesuai dengan jalan yang seharusnya dilalui.
Dalam berbagai kesempatan dalam pidatonya, Bung Karno sering menggambarkan tentang potensialnya mahasiswa, sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Pidato tersebut menggambarkan betapa berbahayanya kita ketika mau melakukan pergerakan. Kita adalah cadangan bangsa ini, ketika bangsa membutuhkan mahasiswa karena kehabisan harapan dalam memperjuangkan keadilan dan berbagai hak-hak, kita sebagai mahasiswa yang selayaknya maju membantu untuk mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan. Hal ini bukan berarti bahwa mahasiswa mengikrarkan diri berada dalam strata kaum eksklusif yang selalu bergaya memperjuangkan segala hal normatif secara sendiri. Bukan hanya harapan namun kenyataan yang diperjuangkan. Pendidikan serta intelektualitas yang didapat ini adalah untuk merangkul dan menyadarkan rakyat indonesia yang lainnya agar tetap peduli dan mengajak untuk berjuang bersama-sama, dalam hal ini stereotipe yang menyatakan bahwa mahasiswa adalah kaum ekslusif yang berjuang sendiri itu adalah salah.

Ada beberapa solusi menyikapi berbagai masalah yang sedang terjadi dalam pergerakan mahasiswa, hal itu adalah :

1. Diadakan pergerakan-pergerakan yang elegan serta cerdas. Cerdas disini bukan dimaksudkan kepada hal-hal yang anarkis, sebagai contoh adalah bagaimana cara yang taktis untuk menumbangkan petugas pengawal seperti polisi, namun yang dimaksud adalah kita bergerak secara komunikatif. Yang paling penting dalam pergerakan itu sendiri adalah bagaimana pesan yang kita kirimkan dapat sampai dan menarik untuk diperhatikan. Dalam hal ini kita harus memperjuangkan adanya kemenangan media.

2. Menyadarkan dan menginfiltrasi nilai-nilai semangat cinta tanah air dan kepedulian terhadap bangsa sendiri kepada mahasiswa-mahasiswa agar terkuranginya rasa apathisme. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar, sounding isu-isu secara masif dengan berbagai media propaganda yang kreatif, dan masih banyak cara untuk menyadarkan mahasiswa lain selama kita sebagai pelaku penyadar harus mau bekerja sedikit lebih keras.

3. “Satu lidi akan lebih lemah dibandingkan dengan sapu lidi.” Maksudnya adalah walaupun pergerakan mahasiswa itu bersifat prular dan memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda terhadap suatu isu, namun sangat perlu menyamakan tujuan dan kepentingan semata-mata untuk rakyat Indonesia. Dan mahasiswapun wajib untuk merangkul dan mengajak semua elemen masyarakat dari kaum birokrat sampai pada grass-root untuk bersama-sama membangun Indonesia menjadi lebih baik. Sekali sebagai dasar pergerakan bahwa tujuan dan kepentingan yang ada semata-mata hanya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan bebas dari boncengan kepentingan lain. Pergerakan adalah INDEPENDEN.
Itulah sedikit potret yang menggambarkan tentang keadaan pergerakan mahasiswa pada saat sekarang ini. Betapa ironisnya ketika kita lihat bahwa masih banyak mahasiswa yang belum sadar akan pentingnya pergerakan dalam pembangunan nasional. Namun harapan pasti ada, tidak ada kata menyerah untuk berjuang menjadi lebih baik. Dan independensi dalam bergerak, keteguhan prinsip itulah yang masih jadi senjata untuk berjuang.
“ Katakan hitam adalah hitam, katakan putih adalah putih..
Tuk kebenaran dan keadilan menjunjung totalitas perjuangan..”
Mari kita bangun Indonesia bersama-sama menjadi lebih baik. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang peduli terhadap permasalahan bangsa ini.
HIDUP MAHASISWA!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!

Muhamad Affin Bahtiar
Staff Kajian dan Aksi Strategis
BEM FISIP UI 2010