Senin, 26 Juli 2010

mimpi bersama

Saudaraku…
ini hanya sebuah tulisan,
mungkin hanya sebuah rangkaian kata yang tidak terlalu berarti
tapi aku benar-benar ingin mencurahkan isi hatiku.. kegundahanku selama ini…
lewat tulisanku ini….

saudaraku…
bukankah kita pernah bermimpi bersama…
aku yakin, dibenak kalian selalu ada tempat untuk mimpi itu…
angan-angan kita untuk membuat mimpi itu menjadi nyata dan menjadi yang terbaik…
Aku yakin saudaraku…
aku yakin pada kalian…
aku berani bermimpi… Semua itu karena ada kalian disisiku…

saudaraku…
aku bukan yang terbaik…aku bukan yang tau segalanya
untuk itulah kita bersama…

Tapi…
Akhir-akhir ini kita jarang bermimpi bersama lagi…
Sungguh…
Aku rindu masa kita bisa bersama..
Berkeringat dan berangan...
Aku dan kalian….
Kita…
Berkumpul bersama lagi…
Aku butuh kalian saudaraku…

Maafkan aku atas tulisan ini….
Tentang sebuah catatan kecil ini…

-affin-

Selasa, 13 Juli 2010

Cinta ,Maya, dan Kata

Kudengar berbagai suara kebimbangan cinta dalam lantunan melodi kepedihan

Berbagai bait dan kata terangkai dalam upaya pembenaran atas pengingkaranku

Sudah cukup lelah kata-kata itu menjadi tameng sutra keadaan

Satu…

Dua…

Tiga…

Empat…

Seratus…

Kisah pembualan atas bisikan-bisikan kebimbangan yang terus kubuat

Tanpa penyesalan dan kekecewaan



Drama romantika melankolis yang terkadang memuakkan, membuatku lari

Selimut penutup kubentangkan… kututupi diriku dari kenyataan…

Aku tak mau berpijak…

Aku tak ingin bercermin jika yang memantul hanyalah kesedihan…

Cukup dengan kata aku mengungkap segalanya…

Aku tau aku belum…

Aku tau aku tidak…

Itulah…

Pembualan, pengingkaran, dan pengekangan ini cukup untukku saat ini...

Menelusuri kehidupan nyata dengan menutup cinta…

Kuubah cinta dengan maya

Dan kuubah maya dengan kata

Saat ini… hanya itu yang aku perlukan…

Senin, 05 Juli 2010

sebuah catatan tinta darah dari seorang terlunta-lunta

Erangan kecil kepedihan mengoyak raungan malam tenang tak bersuara
pejalan kaki berjalan terseok-seok bertanya kepada malam yang tak menjawab
apa gerangan membuatmu meraung??


kembali lagi pejalan kaki itu berjalan, melihat bintang indah bagian malam...
cahayanya membelai-belai kedamaian menimbulkan kerinduan namun dia berada dalam raungan malam...

pejalan kaki itu kembali bertanya
apa gerangan membuatmu meraung??

dengan darah mengucur menyapu keringat mencoba meraih bintang...
meloncat..menangis..putus asa...berlari...
namun tetap saja bintang itu indah dan malam meraung menggambarkan kepedihan...


sekali lagi pejalan kaki itu bertanya
apa gerangan membuatmu meraung??


tak ada jawaban...
pejalan kaki itu memejamkan mata merenung...merintih..menan
gis...
merindukan bintang diantara malam yang meraung....


malam ta menjawab...bintang ta tergapai...


ketika pejalan kaki itu membuka mata....
matahari hangat menyelimuti rumput-rumput berembun dipagi hari...

dimana bulanku?

Minggu, 04 Juli 2010

Sendal jepit.... Alat Simbolik







Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah kenapa harus sandal swallow yang digunakan dalam menyampaikan pesan diatas. Dalam ilmu sosial, kita mengenal seorang tokoh sosiologi yaitu George Herbert Mead, beliau memiliki pandangan mengenai interaksi sosial, yaitu metode interaksionisme simbolik. Metode ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial dimana proses interaksi dalam suatu masyarakat menggunakan simbol-simbol didalamnya. Dalam penyampaiannya, pendefinisian simbol-simbol itulah yang sangat berperan penting. Menurut Leslie White, simbol-simbol itu memiliki makna dari definisi sosial yang nantinya akan menjadi pesan kepada masyarakat. Selain itu, menurut Herbert Blumer, pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga yaitu:


1. Bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Atas dasar itu perlakuan seekor hewan sapi oleh penganut agama Hindu akan berbeda dengan perlakuan sapi oleh penganut agama Islam karena makna sapi dari masing-masing agama berbeda.
2. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.
3. Makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran.
(Sunarto, Kamanto. 1990. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.)

Itulah yang menjadi dasar penggunaan sandal swallow dalam penyampaian mengenai pesan kesederhanaan ini. Simbolisasi sandal swallow ini bukan ditujukan sebagai media iklan suatu produk karena sebenarnya fungsi dari sandal swallow dan sandal-sandal dari produk yang lain adalah sama yaitu sebagai alas kaki. Jadi sebelumnya, yang ditekankan disini adalah proses terjadinya penafsiran makna sandal swallow itu sendiri oleh masyarakat, bukan sebagai bentuk mempromosikan kualitas dan mutu yang dimiliki oleh sandal ini.

Berdasarkan pengertian mengenai interaksionisme simbolik inilah maka memang perlu adanya suatu simbol yang digunakan dalam menyampaikan kesederhanaan sebagai sarana untuk melakukan penyadaran terhadap kebobrokan jaman modernitas dan globalisasi yang serba instan dan konsumtif serta egoisitas terhadap materialistis duniawi yang melambung tinggi diatas nilai kemanusiaan dan hati nurani. Inilah sandal swallow, sebuah benda yang selalu menjadi teman oleh kaum terpinggir dalam mengais rezeki kehidupannya. Penafsiran sandal swallow yang memiliki makna sebagai simbolisasi kesederhanaan adalah karena sandal ini biasa digunakan oleh masyarakat kelas menengah bawah atau lower class dalam strata sosial. Sandal ini digunakan mulai dari aktivitas bertani, sopir angkot, pedagang kaki lima, dalam mewarnai aktivitas kehidupan masyarakat tersebut, dan tidak jarang pengemispun menggunakan sandal ini. Itulah yang memberikan stereotipe bahwa sandal swallow adalah sandal rakyat jelata dan tidak pantas dipakai untuk acara-acara besar ataupun kegiatan masyarakat upper class secara keseluruhan.

Dalam aktivitasnya, penggunaan sandal swallow ini oleh “kaum atas” hanya digunakan untuk hal-hal yang sekiranya berada pada waktu dan tempat yang tidak disoroti oleh orang banyak seperti ketika akan ke toilet atau biasa diberi julukan sebagai sandal WC, sebagai sarana yang dipakai dari tempat wudlu ketempat untuk beribadah sholat, dan digunakan diwaktu-waktu nonformal yang tidak banyak diberlakukan peraturan-peraturan kesopanan yang mengawasi. Hal tersebut karena dirasa ketika menggunakan sandal ini untuk beraktivitas, masyarakat telah melakukan tindakan yang menyimpang dan melakukan ketidaksopanan. Dalam dunia institusi yang memberikan naungan dari suatu kelompok orang, hal tersebut dianggap telah menodai institusi dari tempat mereka berada.

Itulah kenapa saya, sebagai salah satu orang yang prihatin dan peduli (walau saya tau kemampuan dan pengetahuan saya tidak seberapa untuk prihatin dan peduli) dengan keadaan dan kesadaran masyarakat jaman tua saat ini yang identik dengan mendongakkan kepala tanpa mau sedikit menunduk untuk melihat saudara mereka yang sebenarnya sangat membutuhkan uluran tangan mereka barang sedikit saja. Dalam melakukan pergerakan untuk penyadaaran inilah metode interaksionisme simbolik saya gunakan. Dengan berdasarkan bahwa tafsiran masyarakat mengenai sandal swallow memiliki makna yang identik dengan rakyat miskin, saya aplikasikan sandal swallow itu dalam berbagai aktivitas kehidupan saya. Mulai dari perkuliahan yang tidak jarang dosen-dosen menegur saya karena dirasa saya menodai proses perkuliahan dengan tidak mematuhi peraturan kampus yang artinya saya tidak sopan. Selain itu dalam pergaulan, berkumpul dengan teman bermain di daerah hedon dengan dikelilingi kaum jetset, acara-acara yang cukup resmi, saya gunakan sandal tersebut untuk sekedar mengingatkan mereka bahwa kehidupan bukan hanya didominasi oleh eksistensi mereka saja, tapi masih ada orang miskin diluar sana yang memerlukan mereka dan orang yang membela dan memperjuangkan kaum miskin tersebut juga masih akan selalu ada.

Dengan idealisme tersebut, saya pernah suatu ketika datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengikuti sidang Judicial Review UU BHP yang putusan hasil JR tersebut menyatakan bahwa UU tersebut tidak sejalan dengan konstitusi. Ketika hendak masuk kedalam gedung persidangan dengan sandal swallow yang saya kenakan, saya sempat diberhentikan dan dilarang untuk masuk kedalam oleh petugas keamanan disana. Namun sayapun mengatakan sebagai berikut kurang lebihnya : “Maaf Pak, bukan maksud saya tidak menghormati Mahkamah Konstitusi, tapi sandal ini simbolisasi dari eksistensi rakyat marginal pak, orang miskin.” Saat itu petugas keamanan gedung tersebut terdiam, dengan mimik wajah yang masih bimbang dia mengijinkan saya untuk masuk kedalam gedung tersebut.


Beberapa pengalaman tersebut merupakan bentuk interaksi sosial atau metode penyampaian pesan suatu makna tentang kemiskinan kepada khalayak ramai. Bukan hanya aksi massa untuk menyuarakan aspirasi golongan termarginalkan. Dengan melakukan pergerakan-pergerakan lainnya secara cerdaspun kita mampu mewakili masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dewasa ini, cukup sulit bagi saya untuk mencari sandal swallow lagi. Ketika nanti jika kalian kebetulan bertemu dengan saya, dan tidak memakai sandal swallow dan jenis sendal lainnya, seperti cerita saya, ada beberapa kemungkinan saat itu yang bisa ditafsirkan untuk saya. Bahwa saya sudah tidak lagi menggunakan interaksionisme simbolik dalam pergerakan saya yang artinya metode pergerakan yang ini sudah selesai saya gunakan. Atau bisa juga saya sudah mencapai batas akhir pencarian sandal swallow yang kita tahu ternyata dengan adanya kebakaran pabrik sandal ini, produk yang dipasarkan menjadi berkurang (sampai saat ini ketika saya menulis tulisan ini). Atau bisa juga saya sudah tidak memiliki idealisme ini dan berpihak pada keadaan hedonisme. Tapi apapun merk sandalnya, saya akan selalu berusaha menggunakannya, saya akan mencoba menjadi sosok orang yang sederhana dengan gadget yang sederhana pula entah saya memang benar-benar hanya memiliki harta yang sesuai dengan kesederhanaan itu ataupun ketika saya sudah dalam keadaan diberi rizky yang lebih banyak oleh ALLAH. Semoga saja saya selalu bisa mencoba menjadi orang yang sederhana. Amin.

Pikiran Melanturku tentang HUJAN

Hari ini hujan turun, tidak seperti hari-hari biasanya yang dihiasi oleh terik mentari dalam mewarnai setiap kegiatanku. Aku duduk didepan teras rumahku melihat sekeliling lingkungan yang menjadi sepi karena hujan turun, sepertinya nuansa hujan ini berbeda dengan hujan-hujan yang kualami di Depok sebelumnya. Ada apa? Apa yang membuat hujan ini berbeda?

Ketika aku berusaha membuka brangkas memori dalam otakku untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu, tiba-tiba seorang ibu paruh baya berpayung dengan sayur-sayuran yang ditenteng-tenteng, mungkin dari pasar. Sambil berjalan kesal dan dengan muka yang ditekuk, dia menggerutu tentang cuaca yang tidak menentu. “Hujannya kok turunnya gak jelas sekarang ini.” Seperti itulah yang dia katakana sembari melewati aku yang masih duduk berkonsentrasi mengamati polah-tingkah ibu itu yang hanya melintas sekitar 30 detik didepan mataku.

Terngiang ucapan dari ibu tadi dan kucerna baik-baik sembari masih mencari jawaban atas pertanyaan awalku tadi. Lalu kupaksakan untuk menghubung-hubungkan perkataan ibu tadi dengan ingatan-ingatan tentang pengetahuanku yang masih terbatas mengenai persoalan climate change dan global warming. Ya, dulu ketika aku masih duduk dibangku SMA jurusan Ilmu Alam pelajaran tentang iklim dan cuaca pernah aku dapatkan. “Tunggu!” Sesaat setelah itu aku mulai tersadar bahwa pengetahuan itu kudapatkan dari pelajaran Geografi yang diajarkan di tahun pertamaku sekolah di SMA yang selanjutnya mulai kuperdalam di tahun ketigaku ketika akan masuk ke perguruan tinggi, walaupun mungkin dulu aku dari jurusan Ilmu Alam tetapi menjelang akhir aku mulai membelot dari jurusan tersebut dan berpaling ke Ilmu Sosial.
Pelajaran mengenai Iklim dan Cuaca itu lalu aku hubungkan kembali dengan mata kuliah yang aku dapatkan mengenai global warming dan climate change yaitu mata kuliah Sistem Sosial Indonesia. Ternyata yang keluar dari ingatanku mengenai perihal tersebut adalah dampak dari global warming itu sendiri. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengetahui pengertian serta faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya global warming. Dengan berlandaskan ilmu sosial yang aku miliki, dan keinginan untuk mengangkat eksistensi dari disiplin ilmu tersebut, maka akupun sedang ingin untuk berkutat pada dampak sosial dari global warming walau tidak menutup kemungkinan dilain waktu aku akan dengan senang hati meluangkan waktu untuk mempelajari dampak alam maupun dampak lainnya yang terkait dengan global warming karena memang antara satu hal dengan yang lain sangat berhubungan.

Ada beberapa dampak sosial yang mungkin dapat terjadi, salah satunya adalah meningkatnya angka kelaparan di negara kita ini yang memang sudah haus akan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan gagal panen dan krisis air bersih yang memang melanda akibat global warming. Dengan adanya kelaparan tersebut mengakibatkan tingkat mortalitas dari penduduk semakin bertambah, selain itupun berdampak meningkatkan gelandangan dan kemiskinan. Global warming pulalah yang mengakibatkan melemahnya kemampuan anak untuk berangkat sekolah. Hal itu dikarenakan untuk mendapatkan sesuap nasi dengan keadaan dimana terjadi gagal panen akan sangan sulit. Harga sembako pastilah akan naik, sehingga mau tidak mau orang tua akan meminta anak-anak mereka untuk membantu mereka mencari nafkah untuk membeli sembako yang harganya melambung. Bagaimana negara ini akan semakin maju jika presiden nantinya tidak bersekolah? Bagaimana negara ini akan menuai kesuksesan besok, jika calon pemimpin-pemimpin bangsanya malah diminta oleh orang tuanya untuk mencari nafkah ketimbang sekolah.

Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini baik orangtua maupun dari anak itu sendiri, ini adalah suatu bentuk fenomena sosial yang memang diakibatkan oleh keadaan dan mereka tidak memiliki pilihan selain memenuhi hasrat mendasar yang dimiliki makhluk hidup yaitu bertahan hidup. Yang menjadi pihak utama untuk dimintai pertanggung-jawaban adalah mereka oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya mementingkan kantong mereka sendiri tanpa berfikir akibat apa yang akan timbul dari kelakuan brengsek mereka. Melihat hal ini, cukup disayangkan pula ketika melihat kebijakan pemerintah yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memang mengatur tentang lingkungan hidup yang dewasa ini belum ditegakkan dengan maksimal. Sangat sedikit pelaku-pelaku kejahatan lingkungan tersebut yang ditangkap dan diproses dan akhirnya dipenjarakan untuk mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Itulah yang mestinya menjadi introspeksi dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk semakin memperbaiki kinerjanya walaupun memang kejahatan lingkungan sangat sulit diproses. Selain itu dari pihak masyarakatpun wajib untuk membantu pihak berwenang dalam menegakkan dan mencintai lingkungan ini, dengan mengolah alam secara adil dan seimbang dan melakukan pembangunan yang meminimalisir terjadinya dampak buruk terhadap generasi selanjutnya, selain itu aksi konkritnya mungkin dengan mulai membuang sampah di tempatnya, melakukan daur ulang dan menggunakan angkutan umum untuk mengurangi polusi udara.

Sepertinya pikiranku mulai melantur jauh sampai keranah teoritis ini, aku mulai tersadar bahwa masih ada pertanyaan yang belum terjawab dari diriku sendiri. Dan akhirnyapun aku terdiam, kembali fokus pada pertanyaan awalku, mencoba membuat suasana sedamai mungkin dengan ditemani suara tetes hujan yang berlomba-lomba memburu aspal jalan. Dengan suara gemuruh angin yang membawa tetes-tetes air hujan terombang-ambing kekanan dan kekiri entah akan dibawa kemana. Kupejamkan mataku yang cukup banyak melihat berbagai kejadian logis dan tidak logis didunia ini. Tenang dan sunyi, aku mulai masuk ke alam di sisi wilayah teramanku. Inikah jawabannya? Inikah jawaban dari pertanyaan awalku? Tiba-tiba aku tersadar, kubuka mataku dengan senyuman. Ya! Jawabku dalam hati, inilah nuansa yang membedakan dengan hujan yang biasa aku rasakan di Depok sebelumnya.

Sebagian hari-hariku disibukkan dengan berbagai kegiatan duniawi, mengejar pencapaian dan kesuksesan. Tertekan, lelah, dan amarah tidak jarang menghinggap dan menerawang untuk menunggu sedikit saja kelalaianku muncul sehingga mereka bisa dengan leluasa mendominasi sistem kerja dalam tubuhku. Ketika hujan turun, ketika titik air yang jatuh dari langit itu membasahi duniaku, aku sering tak menganggapnya ada, kalaupun kuanggap dia ada, yang kurasakan adalah suatu keadaan sebagai sesuatu yang menghambat mobilitasku dalam beraktivitas. Ketika mulai turun, yang ada dalam pikiranku adalah tentang baju yang mulai basah, celana yang kotor karena air jalanan, sakit dan lain sebagainya. Tak pernah aku menikmati sisi indah dari hujan itu sendiri.

Inilah yang sekarang aku rasakan, duduk di kursi kayu murahan dengan ditemani hujan yang kulihat dengan paradigma yang berbeda dengan sebelumnya. Ya! Inilah perbedaannya.

Ketika aku yang sedang menikmati nuansa hujan dengan kondisi dimana sudah kupecahkan pertanyaan dengan jawabanku sendiri, aku mulai membayangkan tentang pandangan orang mengenai hujan itu sendiri. Stereotipe memperlihatkan bahwa hujan itu identik dengan perasaan sedih, putus asa, dan tangisan. Mungkin karena konsep dasar mereka yang sama yaitu mengeluarkan tetesan air. Lalu pikiran ini kembali liar mengingat peristiwa-peristiwa yang telah lalu ketika hujan turun. Aku mendapatkan satu kalimat yang cukup menarik dilontarkan oleh salah seorang temanku ketika aku masih duduk dibangku SMA. ”aku suka hujan, karena ketika aku menangis ditengah hujan, orang-orang tidak akan tahu kalau aku sedang menangis.” Cukup cerdik juga caranya untuk menutupi kesedihannya.

Kadang ketika seseorang bersedih karena suatu hal, mungkin karena cinta, tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit itu seperti kebahagiaan yang jatuh dari hati masing-masing pemiliknya sehingga hanya kesedihan yang tersisa disana. Mungkin karena kotak cintaku telah lama kosong dan hanya diisi oleh kehampaan, aku tidak terlalu mengerti tentang kesedihan cinta itu. Mungkin perasaan ini sudah bias, bagaimana menyayangi, memaknai dan meratapi cinta. Ketika melihat sekeliling dengan pasangan masing-masing, sahabat-sahabat yang satu demi satu memiliki pasangannya yang mulai kuamati dari pertemuan, masa-masa indah, konflik, lalu berpisah, lalu bersedih. Hal itu seperti suatu fase menurutku, ritus dalam hubungan. Dan aku sendiri, aku mulai lupa bagaimana rasanya sensasi ritus tersebut.

Kembali aku ingat tentang hujan ini yang mampu membawaku ke pikiran-pikiran melanturku. Lalu aku ingin melihat hujan dengan paradigma yang berbeda. Bagaimana hujan mampu memenuhi danau-danau, membawa bibit-bibit tumbuhan untuk segera menampakkan perkembangannya sehingga siap untuk dipanen. Bagaimanapun juga hujan itu indah, mereka membawa rezeky dan kebahagiaan. Aku bahagia kali ini bisa menikmati setiap detil hujan yang jatuh didepanku. Aku bahagia akan hujan. Semoga tiap hujan semakin membawa kebahagiaan untukku dan bangsa ini yang sedang kekeringan oleh keadilan dan kebenaran.

Kamis, 01 Juli 2010

AKTIVIS

dari kak sakti lazuardi wahab...

“..Jika kau tidak bisa terbang, berlarilah. Jika kau tidak bisa berlari, berjalanlah. Jika kau tidak bisa berjalan, merangkaklah, tetapi bagaimanapun juga, teruslah bergerak..”
(DR. Luther Martin King)

Kehidupan para aktivis adalah sebuah medan perang tanpa batas yang melingkari sebuah titik waktu. Tak akan pernah atahu apa yang akan terjadi dan kapan akan selesai. Jalannya penuh onak dan duri dan berliku, tak akan pernah menemui sebuah kelurusan dan kelapangan. Seorang aktivis pun harus terbiasa untuk hidup non-individual. Pikirannya kan selalu dipenuhi dengan frasa “kepentingan masyarakat banyak”. Bahkan terkadang hal itu membuatnya lupa akan dirinya sendiri, lupa akan makannya, lupa akan minumnya, lupa akan kehidupannya. Ruh dan jasadnya menjadi milik bersama, bukan menjadi milik dirinya sendiri. Itulah seorang aktivis.

Ia harus berani mengatakan “Hidup Rakyat Indonesia” dan kemudian meninggalkan kebahagiaan-kebahagiaannya. Di saat kawan-kawannya yang lain menikmati masa muda dengan pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, maka seorang aktivis harus rela berpanas-panasan untuk menyuarakan apa yang selama ini ia anggap sebagai sebuah nilai kebenaran. Keyakinan dan keteguhan akan mempertahankannya menjadi kata kunci kenapa ia mau bersikap demikian, dan terkadang juga ditambahkan dengan iming-iming surga. Itulah seorang aktivis.

Aktivis tidak mengenal cinta, di saat sebagian penuh hidupnya habis di ruang-ruang diskusi. Ya atau setidaknya dia tidak akan menjalani kehidupan cinta yang normal, dengan buku, dengan meja rapat, dengan dinding bisu ia lebih sering bertemu. Bilakah ia bertemu dengan seseorang yang mempesona, tak akan ada waktu untuk menggodanya atau merayunya. Karena sekali lagi ruh dan jasadnya bukanlah miliknya, tapi telah menjadi milik bersama. Ironis? Memang, tapi itulah dunia aktivis yang penuh dengan ratapan dan tangisan. Itulah seorang aktivis.

Sesekali seorang aktivis akan saling curiga, sesekali akan saling tuduh dan sesekali akan saling benci. Pergesekan saling sikut dan saling tuding seolah menjadi bumbu wajib dunia aktivis. Persaingan menuju kursi kepemimpinan tidak jarang membuat satu sama lain lupa bahwa sebenarnya tujuan mereka semua sama, yaitu demi kemaslahatan bersama. Tapi aktivis tetaplah manusia, di saat kesombongan, egoisme sikap dan harga diri menjadi indikator dalam menentukan kualitas hidup. Itulah seorang aktivis.

Ya bagaimanapun seorang ativis tetaplah seorang manusia biasa, mereka membutuhkan kebutuhan-kebutuhan pribadi, mereka membutuhkan kenyamanan pribadi, mereka membutuhkan cinta, mereka membutuhkan penghormatan manusia. Tapi sebenarnya yang terpenting dari itu semua adalah, seorang aktivis hanya membutuhkan “semangat rakyatnya”, karena itu adalah bahan bakar sejati menuju kebahagiaan yang hakiki di akhir nanti. Jalan seorang aktivis adalah jalan berliku penuh onak dan duri yang di akhirnya akan ada sebuah sungai berair manis dan pohon berbuah banyak. Itulah seorang aktivis.