Selasa, 14 September 2010

Balada Percakapan Dua Pemuda Gila

Di sore yang indah di depan gedung rekotorat eh salah rektorat (maaf salah ketik, yakin gak maksud apa-apa) samping danau nan cantik dihiasi sampah yang mengambang beserta baunya yang harum serta keramaian orang-orang yang memancing di bawah papan bertuliskan “Daerah Konservasi Dilarang Memancing Disini” , terdapat dua ekor pemuda sedang berbincang mengenai kehidupan. Hal-hal yang sangat penting mereka perdebatkan, tentang bagaimana cara bunuh diri yang cepat apakah dengan menggunakan semprotan nyamuk sebagai alatnya atau kaos kaki bekas pemain sepak bola yang 1 bulan tidak dicuci. Dan akhirnya mereka sepakat flashdisc yang tercepat (loh gak jelas). Perbincangan itupun merembet sampai membicarakan kampus-kampus di beberapa tempat (nama lengkap tiap kampus akan disamarkan sehingga masyarakat tidak akan tahu kampus apa yang dimaksud). Kedua pemuda itu mulai membicarakan bagaimana keadaan di ITB (inisial samaran), atau UGM,UNS, UNDIP, UNPAD, UNAIR, AKMIL, AKPOL, AKBID, AKPER, STIKES, STAIN dan kampus-kampus lainnya (gak ada yang tahu kan kampus mana aja tadi? Iyalah disamarkan gitu).


Hingga sampailah pada perbincangan yang panas tentang UI. (akhirnya narasinya sampai juga). Berikut percakapannya :



A : Ada apa sih di UI ? Kok pada kepingin keterima masuk?

B : hmmm . . . gue mikir dulu deh jawabannya. . .

A : Murah ya?

B : Ah gak juga sih. . . keseriusan penanganan keringanan biayanya juga gak terlalu kelihatan dari pihak “nyang punya kampus.” Noh banyak kasus di BOPB . . .

A : trus apa dong ? kampus rakyat ya?? Katanya gitu, banyak orang-orang dari daerah sabang sampai merauke ada di UI? Ya kan? Ya kan?

B : gundulmu itu, sekarang aja di tiap jurusan di fakultas yang mendominasi si agata ( anak gaul Jakarta ).

A : Gara-gara SIMAK sama UMB kali ya, jadinya informasi sentralistik di pusat. Hla iya orang-orang di pelosok masa mau ngurusin internet-internetan. . . . Gile aje
lu.. hahaha..

B : Yang ada pada nyari kayu bakar di hutan . . .

A : gue bingung sekarang, jadi apa dong alesannya?

B : terlanjur . . .

A : maksud loe?

B: terlanjur punya nama besar. . .

A : besar apanya sih ? kayaknya kecil-kecil aja deh. . . apa sih gue . . haha . . .

B : coba analogiin gini deh, ada orang kaya raya buangeet namanya paijo sama orang miskin buangeet namanya parijan.

A: oke si paijo miskin trus parijan kaya. . . eh kebalik . . ya itu deh . . .

B : Kekayaan si paijo ini udah terkenal di mana-mana, begitu juga kemiskinan si parijan. Baju-baju yang di pake paijo si orang kaya itu selalu di cap harga mahal oleh masyarakat, dan pakaian si parijan selalu di cap murahan.

A : jelas lah, paijo ngupil aja keluar duit . . . nah parijan . . . . ironis memang . . .

B : nah… loe sama aja kalo gitu, padahal karena si paijo itu orangnya pelit se kikir-kikirnya orang, dia selalu beli baju di pasar bekas yang harganya Rp10.000 dapet tiga potong. Tapi karena udah terlanjur namanya terkenal sebagai orang kaya, orang-orang tetep nganggep mahal dan kepingin baju si paijo itu.

A : trus si parijan?

B : penasaran kan? ? haha . . . ternyata walaupun abal-abal, untuk masalah baju si parijan gak main-main, dia berani makan sehari sekali cuman buat nabung untuk beli baju bermerek setara orang kaya. Tapi yah , dasar labeling, orangpun nganggep itu baju murahan.

A : hmm… paijo si kaya berbaju murah dan parijan si miskin berbaju mahal . . . analogiin dengan UI dan kampus lainnya ya? Hahaha . . . gue ngerti. . . gue ngerti . . .

B : nah pinter loe . . haha . . . yah gimanapun se kikirnya paijo dia tetep punya kelebihan lah . . . karena kaya rayanya jadi akan banyak peluang dan keuntungan yang bisa didapat . . . semua ada positifnya . .

A : gitu juga parijan, walaupun miskin dan gak punya nama, tapi sebenernya malah si parijan ini yang lebih kompetitif untuk mendobrak ingin mendapatkan nama. Jadi dia akan melakukan perbaikan dan introspeksi diri. Bahaya nih parijan . . .

B : ini kita kok malah ngomongin parijan dan paijo ? hahaha . . . intinya jangan takut masuk UI. Satu hal yang sampai sekarang masih sama kayak dulu . .

A : apa tuh ? jadi penasaran . . .

B : bahwa UI adalah kampus perjuangan . . . akan banyak pejuang-pejuang muda yang akan memperjuangkan keadilan di UI, jadi gak usah takut . . . orang-orang ini yang akan sekuat tenaga mengangkat kaum-kaum marginal kampus agar sejahtera sama seperti yang lain.

A : nah kalo kayak gini tenang gue di UI

B : hahahaha . . . gue tunggu di GERBATAMA … oke!

A : wah gue terharu . . . ngapain di GERBATAMA?

B : nyapu jalan ampe aspalnya ilang . . . abisnya masih tanya lo . . . tapi iya ya ngapain nungguin lo?

A : ya gila lo . . . ampe jamannya kucing kawin ama kuda juga gak bakal tuh aspal ilang . . . nah tuh, gue kan uda keterima di UI,ngapain nunggu coba? ah sok-sokan spiik gaya senior nunggu junior SMAnya masuk UI loe!

B : hahaha. . . iye juga . . uda ah kita akhiri perbincangan gila ini.



Demikian percakapan itu berakhir, ketika mereka tersadar, danau nan beautipul itu telah dipenuhi sesak orang-orang yang sedang memadu kasih dengan prinsip “dunia serasa milik sendiri, yang lain ngontrak”. Jadi mo ngapain aja terserah mereka, kan nyang punye dunia mereka, mo depan rektorat kek, depan mesjid kek, dunia dunia gue, terserah gue dong. Sungguh keren kampus ini, ternyata pihak kampus hanya mengontrak lahan perkuliahan dari pemilik dunia, yaitu orang pacaran ( udah mulai ngelindur nih naratornya, balik ke pemuda-pemudanya bang! ). Nah! Walhasil, kedua pemuda itupun terbangun, ternyata semua hanya mimpi, dan ternyata mereka adalah naruto dan sasuke. (APA SIH INI??? )

Catatan untuk Tuhan

Tuhan . . .
Bolehkah aku menulis catatan kerinduan ini ?

Aku rindu masa itu . . .
Ketika aku masih menangis dimanapun kusuka . . .
Bahkan untuk hal-hal yang kukira tidak terlalu berarti . . .

Tuhan . . .
Aku rindu pagi itu . . .
Ketika aku bangun . . . yang kulihat adalah pelukan Ibu yang menyapa hari pagi ku . . .
Ayahku dengan senyumannya yang bersiap untuk bekerja . . .
Kakak-kakak ku yang jahil dan lincah . . .
Kami tertawa bersama . . . tak ada rasa canggung. . .
Hanya anak-anak . . .

Tuhan . . .
Di masa itu yang kurasakan adalah kebahagiaan dan kasih sayang . . .
Tak tau apa itu kerasnya kehidupan . . .

Tuhan . . .
Bolehkah aku rindu masa itu?
Ketika semua yang kulihat hanya kebahagiaan ?

Tapi Tuhan . . .
Sekarang aku sadar . . .
Aku bukanlah anak pada masa itu lagi. . .
Pundakku telah berat oleh beban . . .
Nafasku yang keluar selalu terengah-engah mengejar ini dan itu . . .
Tentang target dan kesuksesan . . .

Ibu . . .
Anak kecilmu ini sudah dewasa Bu . . .
Ketika tanganmu kukecup lalu melangkah keluar pintu. . .
Aku bukanlah anak kecil ibu lagi . . .
aku milik mereka . . . aku milik kehidupan. . .

Ibu . . .
Maaf jika ibu hanya bisa melihat kelelahanku . . .
Rasa jengkel ini, teriakan itu . . .
Bukan senyuman dari anakmu . . . orang yang ibu sayangi . . .

Ibu . . .
Selain kata maaf. . .
Rasa sayang ini yang selalu menyelamatkanku, ibu . . .
Rasa sayang ini pula yang selalu menguatkanku untuk tidak menangis didepanmu . . . Betapa menyedihkannya anakmu yang belum bisa sepenuhnya membahagiakanmu . . .

Senyumlah ibu . . . senyumlah didepanku walau ibu sedang lelah . . .
Bohongi aku ibu . . . jangan perlihatkan kesedihan didepanku . . .
Tetaplah terlihat tegar walau apapun keadaanmu ibu . . .apapun yang terjadi padaku . . .
Hanya itu yang menguatkanku ibu . . .

Ayah . . .
Aku tau dibalik wajah kerasmu itu, kau selalu memperhatikanku . . .
Walaupun ayah banyak diam . . .
Tapi . . .
tiap kali kubuka pintu ketika pulang, aku tau ayah diam-diam mengintipku untuk sekedar memastikan keadaanku baik-baik saja. . .
Caramu memang berbeda untuk rasa sayang itu . . .
Terimakasih ayah . . . karena rasa sayang ayah mampu aku nikmati . . .

Ayah . . .
Inilah anakmu sekarang ayah . . .
Bukan seorang anak yang bisa ayah ajak ke bengkel bersama lagi tiap sepulang sekolah . . .
Atau berjalan-jalan sore tanpa tujuan, atau sekedar melihat televisi bersama dirumah . . .

Ayah . . .
Maafkan aku jika aku kurang memperhatikanmu sebanyak ayah memperhatikanku . . .
Tapi percayalah ayah . . . ditiap doa-doaku kepada Tuhan, ayah selalu ikut hadir dan mewarnai kata-kataku kepada-NYA . . .
Aku sayang ayah . . .

Kakak ku . . .
Masih ingatkah dulu ketika malam tiba, adik kecilmu ini mulai ketakutan karena gelap?
Dengan baiknya kakak membukakan pintu kamar dan membiarkanku tidur disampingmu agar aku tidak takut lagi . . .
atau ingatkah ketika kita membuat istilah-istilah baru? Permainan baru? Kakak selalu memaksaku untuk melakukan ini dan itu . . . kita tertawa dan menangis bersama . . .
jahilku untuk kakak . . . keisengan kakak untukku . . . kita berbagi . . . kita bekerjasama . . . kita satu kandungan . . .

kakak . . .
tidak jarang kakak marah-marah hanya karena aku mengotori ruangan . . .
atau karena aku melakukan tindakan-tindakan aneh di depan teman-teman kakak . . .
sehingga kakak jadi malu . . .
semua itu karena aku ingin mendapat perhatian kakak . . .

kakak . . .
kini kita sudah beranjak dewasa . . .
tidak ada lagi permainan di halaman . . .
atau kejengkelan-kejengkelan anak-anak lagi. . .

aku sedih kak . . .
terkadang kita saling curiga, saling iri, berkompetisi ini dan itu . . .
aku percaya kalau kita pasti akan berhasil pada masanya nanti . . .
kita orang-orang hebat dengan kemampuan masing-masing yang hebat pula . . .
dengan bekerjasama, dengan berbagi, kita adalah yang terhebat . . .

kakak . . .
usia ini membuatku belajar banyak dan mengerti arti kerasnya kehidupan . . .
aku sedih tiap kali melihat kakak lelah sehabis bekerja, atau ketika banyak beban pikiran karena tugas-tugas yang menumpuk. . .
aku sayang kakak . . .
tetaplah semangat kak . . . kita bersama-sama sedang berjuang dan akan saling membantu . . .

kak…
terimakasih untukmu yang selalu memberiku perhatian…
air minum itu, makanan itu yang selalu ada ketika aku lelah . . .
atau bantuan tugas-tugas yang tidak tau lagi bagaimana harus kukerjakan,
informasi dan motivasi yang selalu kau berikan, dan pelajaran yang selalu kuambil dari aktivitasmu kakak . . .

kakak . . . .
terlalu banyak bantuan kau berikan untukku . . .
tapi aku hanya bisa membantu menjadi pendengar ketika kau gundah, atau menemanimu ketika jenuh . . .
atau bahkan aku belum membantu apapun untukmu?
Adik macam apa aku ini?

Maafkan aku kakak . . .
Aku belum terlalu baik menjadi adik . . .
Dan terimakasih atas kasih sayang selama ini untuk adikmu . . .

Untuk makhluk kecil pembawa warna baru di kehidupanku yang penuh beban ini,
Kamu akan selalu aku sayang. . . tingkah lakumu membawa tawa dan senyum dari lelahku . . .
Walaupun terkadang menjengkelkan . . . tapi sosokmu tak bisa lagi dipisahkan dengan keluarga ini . . .

Tuhan . . .
Itu tadi catatan kerinduanku . . .
Tentangku. . .
Tentang ibuku yang tak mampu kucatat kecintaanku terhadapnya walaupun ketika semua dedaunan di dunia bersedia menjadi kertas. . . .
tentang pengorbanannya dan rasa sayangnya yang takkan mampu kubalas dengan apapun. . .
Tentang ayahku dengan segala pelajaran yang kudapatkan dan tanggung jawab yang kupelajari darinya . . .
dan tentang rasa cintaku kepadanya . . .
tentang kakakku dengan bantuannya serta kerjasama kami . . . dan tentang tawa, canda itu
aku sayang kakak. . .
dan terakhir untuk makhluk kecil ini . . . tentang warna baru yang selalu memberikan lukisan abstrak di hidupku . .
aku sayang si kecil ini . . .

inilah keluargaku dan rinduku saat dulu dan rasa sayangku yang takkan berubah dari dulu sampai nanti . . .

8 september 2008 / 10:48 PM

Nasib Seorang Kesatria Berjubah Hamba

Telingaku mendengar sayup-sayup melodi kegundahan tanpa lirik

Jari jemariku menari-nari diatas dinamika kehidupan saat ini

Mataku semakin melemah menahan beratnya beban waktu yang menindih

Mulutku . . . aku tak tahu . . . hanya terdiam membisu dalam rongga keheningan

Hanya nafasku yang seolah tidak memperdulikan apapun. . .

hanya menghembus dan menghisap secara berulang-ulang . . .

membosankan . . . namun selalu memberikanku kehidupan . . .



itukah denting penantian yang aku harapkan?

Dan hal-hal membosankan itu yang akhirnya selama ini menggerogoti

Ditengah keegoisanku aku membohongi kesatria berjubah hamba

Yah . . . aku memang egois . . .

Mempercayakan kehidupanku dan cintaku pada lirikan dewi takdir . . .

Tapi. . . aku percaya bahwa nanti akan bahagia . . .

Tunggu . . . . bagaimana kesatria itu?

Tentu saja menderita . . . .



Yah inilah aku dan keegoisanku . . .

Dan kesatria itu ?

sebenarnya dia seorang hamba . . . . dialah aku . . .

Tabung 3 Kg - ku yang NAKAL

Dewasa ini tidak jarang kita lihat atau kita dengar di berbagai media mengenai kritikan tentang kebijakan pemerintah dalam hal pengkonversian bahan bakar minyak ke gas. Kritikan-kritikan itu didasari oleh makin maraknya kasus-kasus yang berdampak buruk terhadap masyarakat yang timbul akibat public policy tersebut.

Berdasarkan definisinya, konversi minyak tanah menjadi gas elpiji merupakan salah satu program pemerintah yang secara khusus dimaksudkan untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna meringankan beban keuangan negara. Dari definisi tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa tujuan dari pemerintah adalah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Mengapa harus dilakukan hal tersebut? Jawabannya adalah karena terjadi lonjakan harga minyak dunia, akibat dari hal tersebut APBN pun menjadi meningkat sehingga pemerintah harus mengeluarkan sekitar 50 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak. Sangat menarik jika kita perhatikan kebijakan konversi ini, dengan pelaksanaan konversi minyak ke gas, pemerintah mampu menghemat biaya subsidi bahan bakar minyak lebih dari 20 triliun per tahun. Cukup membantu melihat kondisi perekonomian kita yang masih belum stabil.

Pernyataan diatas adalah keuntungan dari segi ekonomi jika kita lihat hal tersebut dalam tataran makro. Keuntungan inipun dapat ditarik menjadi lebih mikro hingga sampai pada tataran konsumen. Maksudnya adalah bagaimana kita melihat dampak konversi tersebut dalam kerangka untung dan rugi bagi rakyat secara individu atau biasa kita sebut sebagai konsumen. Harga minyak tanah saat ini yang masih beredar berkisar pada harga Rp 2.500 per liter, hal itu dapat dirasakan masyarakat dari harga pokok minyak sendiri yaitu Rp 6.000 per liter yang dikurangi subsidi pemerintah sebesar Rp 4.000 per liter lalu dikurangi dengan keuntungan dari penjual yaitu Rp 500 . jika dirumuskan secara matematis maka akan tampak seperti ini:

Harga pokok ( Rp 6.000 ) – {subsidi pemerintah ( Rp 4.000 ) - keuntungan penjual ( Rp 500 )} = Harga minyak tanah yang beredar ( Rp 2.500 )


Demikianlah sehingga harga minyak yang beredar adalah Rp 2.500 per liter, namun dengan adanya konversi minyak ke gas, konsumen mampu menghemat hingga Rp 700 karena harga gas elpiji hanya Rp 1.800 per liter. Hal itu mampu menguatkan pemerintah dan masyarakat bahwa konversi minyak ke gas ini merupakan salah satu solusi dalam menanggulangi masalah perekonomian di Indonesia.

Lalu ketika kita dipaksa untuk melihat kembali berbagai kasus tentang ledakan bom elpiji 3kg di dapur-dapur rumah masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih berpeluang untuk meledak kembali, seolah-olah secara otomatis timbul sebuah pertanyaan besar bahwa apakah penghematan itu merupakan harga yang pantas untuk membayar nyawa-nyawa yang hilang akibat dari ledakan tabung gas elpiji tersebut?

Sebenarnya jika kita perhatikan tujuan dari konversi itu sendiri adalah sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat. Namun faktanya, apakah definisi dari konsep mensejahterakan ini telah benar-benar dirasakan oleh masyarakat? Sejahtera adalah ketika masyarakat mampu merasa nyaman dan aman menanggapi suatu kebijakan, bukan merasa khawatir ketika tiap kali menghidupkan kompor yang ada di dapur, apalagi hingga nyawa seseorang beserta berbagai hak-hak nya baik hak asasi manusia, hak sipil dan politik yang dia miliki hilang bersamaan dengan meledaknya tabung gas elpiji. Hal ini bukanlah definisi yang seharusnya dari konsep mensejahterakan, malah bisa dibilang bahwa keberadaan kebijakan konversi dari minyak menjadi gas tersebut merupakan sebuah terror yang mengancam bagi masyarakat.

Maraknya kasus ledakan gas elpiji 3Kg yang sudah tersebar kabarnya di berbagai media di seluruh Indonesia ini diindikasikan karena kekurang siapan dari pemerintah. Banyak ditemukan tabung gas serta aksesoris-aksesoris yang didistribusikan kepada masyarakat yang masih tergolong tidak memenuhi standar mutu atau belum memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam penerapannya, aksesoris gas elpiji yang sampai ke tangan masyarakat seolah-olah dipaksakan untuk layak. Bagaimana bisa barang-barang tidak layak pakai diberikan kepada masyarakat yang ternyata latar belakang dari pemerintah adalah untuk berhemat. Salah satu syarat sebagai suatu negara itu adalah memiliki rakyat yang berdaulat, jika semua rakyatnya mati meledak karena tabung gas elpiji, bagaimana Indonesia ini bisa disebut sebagai negara? Bagaimana dengan kelangsungan NKRI? Yang dapat kita bayangkan bahwa Indonesia ini kembali dijajah oleh negara lain dan dijadikan daerah militer sebagai markas pembuatan bom gas elpiji 3Kg yang digunakan untuk melawan negara lain dalam peperangan.

Hal lain yang dapat kita amati sebagai salah satu bentuk ketidaksiapan pemerintah adalah dalam hal sosialisasi kebijakan ini hingga bisa sampai pada tataran grass root. Pemikiran yang perlu digunakan ketika melihat suatu kebijakan adalah coba lihat dengan sisi sosial dan kebudayaan masyarakat yang ada. Jangan dengan mudahnya mengeluarkan kebijakan publik yang notabene hal itu menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan sebelumnya masyarakat Indonesia menggunakan minyak untuk keperluannya sehari-hari, dengan sistem mengganti minyaknya, sumbu kompornya dan cara menyalakan api kompornya serta segala tetek bengek yang menyangkut minyak dalam kehidpuan sehari-hari. Hal itu sudah tertanam dalam benak masyarakat yang tidak bisa dengan mudahnya digantikan dengan hal yang baru tanpa ada proses sosialisasi yang mendalam. Dan jika kita perhatikan, orang-orang kelas menengah kebawah lah yang masih mendominasi menggunakan minyak, hal ini berlainan dengan masyarakat upper class yang sudah cukup lama mengenal tabung gas beserta aksesorisnya sehingga tidak perlu adanya perkenalan yang signifikan lagi. Tetapi, sosialisasi di televisi dan perangkat pemerintah daerah seperti kelurahan seolah tidak mampu menembus sampai pada tataran masyarakat yang seharusnya perlu dicerdaskan. Hal itu terjadi karena masyarakat marginal ini bisa dikatakan belum memiliki televisi atau pemerintah daerah yang mensosialisasikan dengan bersifat elitis saja.

Seandainya nenek kita yang tiap harinya menggunakan kayu bakar dan minyak untuk menanak nasi tiba-tiba diberi tabung elpiji untuk menanak nasi, bukan tidak mungkin yang dahulunya menyalakan api di kayu bakar dengan memantiknya, sekarangpun akan memantik api di kompor gas walhasil meledaklah. Maksud contoh ini bukan untuk mendramatisasi atau melebih-lebihkan, tapi cultural shock memang pasti ada, apalagi masyarakat menengah kebawah yang tingkat pengetahuannya masih perlu dicerdaskan yang sudah bertahun-tahun terbiasa dengan menggunakan minyak, hal itulah kenapa sosialisasi secara menyeluruh ke berbagai tingkatan kelas sosial itu penting.
Kembali kepada pokok permasalahan awal adalah apakah sebanding nyawa seseorang itu dengan penghematan yang ingin dilakukan oleh pemerintah? Kalau jawabannya kita kembalikan kepada tujuan dari konstitusi yaitu untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, maka konversi minyak ke gas inipun belum menjadi jawaban masyarakat menuju ke ranah sejahtera, malahan bisa diakatakan dengan adanya konversi ini masyarakat masih merasa sengsara. Dan kalau memang masih terus ingin melanjutkan kebijakan ini, tolong dengan sangat kepada pemerintah untuk benar-benar mencerdaskan secara bertahap atau sosialisasi dengan jangka waktu yang cukup agar masyarakat benar-benar mengerti, jangan malah dijadikan kelinci percobaan pemerintah saja. Selain itu harus ada pengawalan yang ketat dalam proses pendistribusian tabung gas beserta aksesorisnya agar tidak ada oknum yang menyelewengkan. Jadilah pemerintah yang total dalam melaksanakan kebijakan. Jangan hanya setengah-setengah dan hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Dan saya ingatkan kembali, total disini bukan berarti totaliter.

Genderang Universitas Indonesia











Universitas Indonesia, universitas kami

Ibukota negara, pusat ilmu budaya bangsa

Kami mahasiswa, pengabdi cita

Ngejar ilmu pekerti luhur ‘tuk nusa dan bangsa

Smangat lincah gembira

Sadar bertugas mulia

Berbakti dalam karya

Mahasiswa

Universitas Indonesia perlambang cita

Berdasarkan pancasila, dasar negara

Kobarkan semangat kita demi ampera