Selasa, 14 September 2010

Tabung 3 Kg - ku yang NAKAL

Dewasa ini tidak jarang kita lihat atau kita dengar di berbagai media mengenai kritikan tentang kebijakan pemerintah dalam hal pengkonversian bahan bakar minyak ke gas. Kritikan-kritikan itu didasari oleh makin maraknya kasus-kasus yang berdampak buruk terhadap masyarakat yang timbul akibat public policy tersebut.

Berdasarkan definisinya, konversi minyak tanah menjadi gas elpiji merupakan salah satu program pemerintah yang secara khusus dimaksudkan untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna meringankan beban keuangan negara. Dari definisi tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa tujuan dari pemerintah adalah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Mengapa harus dilakukan hal tersebut? Jawabannya adalah karena terjadi lonjakan harga minyak dunia, akibat dari hal tersebut APBN pun menjadi meningkat sehingga pemerintah harus mengeluarkan sekitar 50 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak. Sangat menarik jika kita perhatikan kebijakan konversi ini, dengan pelaksanaan konversi minyak ke gas, pemerintah mampu menghemat biaya subsidi bahan bakar minyak lebih dari 20 triliun per tahun. Cukup membantu melihat kondisi perekonomian kita yang masih belum stabil.

Pernyataan diatas adalah keuntungan dari segi ekonomi jika kita lihat hal tersebut dalam tataran makro. Keuntungan inipun dapat ditarik menjadi lebih mikro hingga sampai pada tataran konsumen. Maksudnya adalah bagaimana kita melihat dampak konversi tersebut dalam kerangka untung dan rugi bagi rakyat secara individu atau biasa kita sebut sebagai konsumen. Harga minyak tanah saat ini yang masih beredar berkisar pada harga Rp 2.500 per liter, hal itu dapat dirasakan masyarakat dari harga pokok minyak sendiri yaitu Rp 6.000 per liter yang dikurangi subsidi pemerintah sebesar Rp 4.000 per liter lalu dikurangi dengan keuntungan dari penjual yaitu Rp 500 . jika dirumuskan secara matematis maka akan tampak seperti ini:

Harga pokok ( Rp 6.000 ) – {subsidi pemerintah ( Rp 4.000 ) - keuntungan penjual ( Rp 500 )} = Harga minyak tanah yang beredar ( Rp 2.500 )


Demikianlah sehingga harga minyak yang beredar adalah Rp 2.500 per liter, namun dengan adanya konversi minyak ke gas, konsumen mampu menghemat hingga Rp 700 karena harga gas elpiji hanya Rp 1.800 per liter. Hal itu mampu menguatkan pemerintah dan masyarakat bahwa konversi minyak ke gas ini merupakan salah satu solusi dalam menanggulangi masalah perekonomian di Indonesia.

Lalu ketika kita dipaksa untuk melihat kembali berbagai kasus tentang ledakan bom elpiji 3kg di dapur-dapur rumah masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih berpeluang untuk meledak kembali, seolah-olah secara otomatis timbul sebuah pertanyaan besar bahwa apakah penghematan itu merupakan harga yang pantas untuk membayar nyawa-nyawa yang hilang akibat dari ledakan tabung gas elpiji tersebut?

Sebenarnya jika kita perhatikan tujuan dari konversi itu sendiri adalah sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat. Namun faktanya, apakah definisi dari konsep mensejahterakan ini telah benar-benar dirasakan oleh masyarakat? Sejahtera adalah ketika masyarakat mampu merasa nyaman dan aman menanggapi suatu kebijakan, bukan merasa khawatir ketika tiap kali menghidupkan kompor yang ada di dapur, apalagi hingga nyawa seseorang beserta berbagai hak-hak nya baik hak asasi manusia, hak sipil dan politik yang dia miliki hilang bersamaan dengan meledaknya tabung gas elpiji. Hal ini bukanlah definisi yang seharusnya dari konsep mensejahterakan, malah bisa dibilang bahwa keberadaan kebijakan konversi dari minyak menjadi gas tersebut merupakan sebuah terror yang mengancam bagi masyarakat.

Maraknya kasus ledakan gas elpiji 3Kg yang sudah tersebar kabarnya di berbagai media di seluruh Indonesia ini diindikasikan karena kekurang siapan dari pemerintah. Banyak ditemukan tabung gas serta aksesoris-aksesoris yang didistribusikan kepada masyarakat yang masih tergolong tidak memenuhi standar mutu atau belum memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam penerapannya, aksesoris gas elpiji yang sampai ke tangan masyarakat seolah-olah dipaksakan untuk layak. Bagaimana bisa barang-barang tidak layak pakai diberikan kepada masyarakat yang ternyata latar belakang dari pemerintah adalah untuk berhemat. Salah satu syarat sebagai suatu negara itu adalah memiliki rakyat yang berdaulat, jika semua rakyatnya mati meledak karena tabung gas elpiji, bagaimana Indonesia ini bisa disebut sebagai negara? Bagaimana dengan kelangsungan NKRI? Yang dapat kita bayangkan bahwa Indonesia ini kembali dijajah oleh negara lain dan dijadikan daerah militer sebagai markas pembuatan bom gas elpiji 3Kg yang digunakan untuk melawan negara lain dalam peperangan.

Hal lain yang dapat kita amati sebagai salah satu bentuk ketidaksiapan pemerintah adalah dalam hal sosialisasi kebijakan ini hingga bisa sampai pada tataran grass root. Pemikiran yang perlu digunakan ketika melihat suatu kebijakan adalah coba lihat dengan sisi sosial dan kebudayaan masyarakat yang ada. Jangan dengan mudahnya mengeluarkan kebijakan publik yang notabene hal itu menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan sebelumnya masyarakat Indonesia menggunakan minyak untuk keperluannya sehari-hari, dengan sistem mengganti minyaknya, sumbu kompornya dan cara menyalakan api kompornya serta segala tetek bengek yang menyangkut minyak dalam kehidpuan sehari-hari. Hal itu sudah tertanam dalam benak masyarakat yang tidak bisa dengan mudahnya digantikan dengan hal yang baru tanpa ada proses sosialisasi yang mendalam. Dan jika kita perhatikan, orang-orang kelas menengah kebawah lah yang masih mendominasi menggunakan minyak, hal ini berlainan dengan masyarakat upper class yang sudah cukup lama mengenal tabung gas beserta aksesorisnya sehingga tidak perlu adanya perkenalan yang signifikan lagi. Tetapi, sosialisasi di televisi dan perangkat pemerintah daerah seperti kelurahan seolah tidak mampu menembus sampai pada tataran masyarakat yang seharusnya perlu dicerdaskan. Hal itu terjadi karena masyarakat marginal ini bisa dikatakan belum memiliki televisi atau pemerintah daerah yang mensosialisasikan dengan bersifat elitis saja.

Seandainya nenek kita yang tiap harinya menggunakan kayu bakar dan minyak untuk menanak nasi tiba-tiba diberi tabung elpiji untuk menanak nasi, bukan tidak mungkin yang dahulunya menyalakan api di kayu bakar dengan memantiknya, sekarangpun akan memantik api di kompor gas walhasil meledaklah. Maksud contoh ini bukan untuk mendramatisasi atau melebih-lebihkan, tapi cultural shock memang pasti ada, apalagi masyarakat menengah kebawah yang tingkat pengetahuannya masih perlu dicerdaskan yang sudah bertahun-tahun terbiasa dengan menggunakan minyak, hal itulah kenapa sosialisasi secara menyeluruh ke berbagai tingkatan kelas sosial itu penting.
Kembali kepada pokok permasalahan awal adalah apakah sebanding nyawa seseorang itu dengan penghematan yang ingin dilakukan oleh pemerintah? Kalau jawabannya kita kembalikan kepada tujuan dari konstitusi yaitu untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, maka konversi minyak ke gas inipun belum menjadi jawaban masyarakat menuju ke ranah sejahtera, malahan bisa diakatakan dengan adanya konversi ini masyarakat masih merasa sengsara. Dan kalau memang masih terus ingin melanjutkan kebijakan ini, tolong dengan sangat kepada pemerintah untuk benar-benar mencerdaskan secara bertahap atau sosialisasi dengan jangka waktu yang cukup agar masyarakat benar-benar mengerti, jangan malah dijadikan kelinci percobaan pemerintah saja. Selain itu harus ada pengawalan yang ketat dalam proses pendistribusian tabung gas beserta aksesorisnya agar tidak ada oknum yang menyelewengkan. Jadilah pemerintah yang total dalam melaksanakan kebijakan. Jangan hanya setengah-setengah dan hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Dan saya ingatkan kembali, total disini bukan berarti totaliter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar