Sabtu, 12 Juni 2010

Positioning Paper Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tentang Penggusuran Bantaran Sungai Cisadane, Tangerang

Penggusuran pada dasarnya merupakan salah satu program pendukung pembangunan dari pemerintah. Bentuk ini pada masa Orde Baru diarahkan pada pembangunan fisik yang mengedepankan nilai keindahan keruangan, estetika, dan lain sebagainya. Pada zaman reformasi sekarang, program pendukung pembangunan ini selayaknya juga memperhatikan faktor kemanusiaan yang berlandaskan HAM sesuai dengan yang tercantum dalam konstitusi negara yang sudah diamandemen.

Rencana Pemerintah Kota Tangerang untuk melakukan penggusuran tanah di sekitar Bantaran Sungai Cisadane juga dapat dikategorikan sebagai salah satu program pembangunan. Penggusuran itu sendiri akan meliputi wilayah seluas 10 hektar dengan total 350 kepala keluarga atau 1007 jiwa yang tersebar sepanjang 3 kilometer bantaran sungai. Sebanyak 300 bangunan dalam wilayah tersebut akan tergusur.

Rencana penggusuran, sebagaimana yang diketahui, didasarkan pada Peraturan Daerah Tangerang nomor 18 tahun 2000 tentang K3 (kebersihan, keindahan, ketertiban), Perda No 7/2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan, dan Peraturan Walikota Tangerang No 49/2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kecamatan.

Selain itu, karena penduduk sekitar Bantaran Sungai tersebut tidak mempunyai surat legal atas tanah yang mereka tempati, pemerintah enggan membayar kompensasi sebagaimana penggusuran yang biasa dilakukan. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut, maka pemerintah sampai saat ini mencoba melakukan penggusuran terhadap pemukiman di sekitar Bantaran Sungai Cisadane tanpa ada kompensasi yang jelas bagi warganya.

Akan tetapi, terdapat berbagai faktor yang perlu dilihat yang menyebabkan penduduk sekitar bantaran sungai Cisadane berada dalam posisi seperti sekarang ini (tidak mempunyai surat legal atas tanah yang mereka tempati dan dekatnya pemukiman mereka dengan sungai Cisadane). Kalaupun penggusuran akan dilakukan oleh pemerintah, terdapat berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan pemerintah jika akan melaksanakannya di daerah tersebut (apalagi jika tanpa kompensasi yang jelas). Dalam pandangan kami, yang berlatarkan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam dari kasus ini meliputi pertimbangan konstitusi, HAM, dan antropologis, agar penggusuran yang merupakan salah satu bentuk dari program pendukung pembangunan tidak mengabaikan sisi kemanusiaan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut (yang akan dijelaskan lebih lanjut di positioning paper ini) telah mengundang perhatian banyak kalangan, baik akademisi, media, LSM, LBH, dan lain sebagainya untuk ikut peduli dan membela penduduk terhadap kasus tanah di bantaran sungai Cisadane.

Hal pertama yang harus diperhatikan adalah perspektif historis, di mana masyarakat sekitar bantaran sungai yang akan digusur tersebut telah berabad-abad lamanya menempati wilayah sekitar bantaran sungai Cisadane. Sejak zaman kolonial Belanda, imigran Cina menempati wilayah sekitar bantaran sungai tersebut karena adanya pembantaian terhadap etnis Cina oleh VOC. Kemudian mereka menetap di sana dan beranak pinak melahirkan satu masyarakat baru melalui akulturasi dengan masyarakat lokal, dan akhirnya jadilah mereka salah satu bagian dari bangsa Indonesia. Akan tetapi, pada masa Orde Baru terjadi diskriminasi terhadap etnis Cina di Indonesia, sehingga usaha mereka untuk melegalkan tanah yang mereka tempati sangatlah sulit untuk berhasil. Akhirnya, ditambah dengan keterbatasan ekonomi dan intelektual, masyarakat tidak tersadarkan akan pentingnya legalitas atas tanah mereka. Dengan begini, ketidaklegalan tanah yang mereka tempati seharusnya dipandang sebagai imbas dari kurangnya kinerja pemerintah masa lalu untuk mengatur administrasi secara merata ke semua warga negaranya, bukan semata karena warga sekitar bantaran sungai Cisadane yang secara liar membangun pemukiman di atas tanah tersebut. Selain itu, dekatnya pemukiman warga dengan sungai juga dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah masa lalu dalam menormalisasi aliran sungai Cisadane tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pemukiman warga pada awalnya terletak jauh dari sungai, akan tetapi lama kelamaan sungai Cisadane mengalami abrasi dan meluas sampai mendekati bahkan menenggelamkan pemukiman warga. hal ini dibuktikan dengan fakta terdapat sisa-sisa tembok rumah dan sumur di sungai Cisadane. Padahal, jika pemerintah pada masa lalu bisa mencegah abrasi tersebut melalui normalisasi aliran sungai, pemukiman warga akan tetap berada jauh dari sungai tersebut.

Kedua, secara antropologis, penggusuran pada dasarnya bukan hanya merupakan pemindahan fisik semata, akan tetapi juga merupakan pemindahan atas hal-hal yang lebih tinggi seperti hubungan kekerabatan, mata pencaharian, adat-istiadat, budaya, pengalaman, memori masa lalu, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Kalaupun pemerintah memberi kompensasi dalam bentuk uang atau relokasi tempat tinggal, jika kompensasi tersebut tidak menghiraukan faktor-faktor kesesuain ini (misalnya kondisi geografis relokasi lingkungan baru tidak sesuai dengan kemampuan mata pencaharian masyarakat) maka hal itu dapat menyebabkan masalah lain juga. Apalagi jika penggusuran tersebut tidak memberikan kompensasi apapun terhadap masyarakatnya, maka bentrokan antara pemerintah dengan masyarakat dan elemen lain yang membela masyarakat tersebut sangat rentan terjadi, yang menyebabkan menurunnya reputasi pemerintah itu sendri.

Ketiga, secara konstitusi, penggusuran dalam kasus ini nampaknya kurang berkesesuaian dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia secara gamblang memuat poin-poin Hak Asasi Manusia (HAM) yang tercantum dalam pasal 28A sampai 28J UUD 1945. Hak Asasi Manusia tersebut secara garis besar berisi tentang dua poin utama, yaitu hak sipil dan politik, dan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob) sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi Genewa yang diratifikasi oleh Indonesia. Dari segi Hak Sipil dan Politik, warga di sekitar bangtaran sungai Cisadane telah memperolehnya dengan baik dibuktikan dengan mayoritas warga Kec. Neglasari yang akan digusur memiliki Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Pemilih Pemilu 2009, bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan maupun bukti pembayaran PLN. Selain itu, bukti-bukti pelayanan sosial oleh negara berupa prasarana fisik jalan, layanan listrik maupun struktur kelembagaan RW dan RT merupakan contoh lain dari pemenuhan Hak Sipil dan Politik tersebut, yang di sisi lain juga menjadi indikasi bahwa pemukiman warga di Kecamatan Neglasari tersebut bukanlah pemukiman liar sebagaimana klaim pemerintah. Akan tetapi, dari segi Hak Ekosob, khususnya dalam kasus ini, pemerintah nampaknya mempunyai perhatian yang sangat kurang. Hak Ekosob yang meliputi hak azasi warganegara untuk hidup layak, mendapatkan pelayanan kesehatan, bebas dari rasa takut, bebas berpendapat, dan bebas melaksanakan segi kehidupan kulturalnya dalam kasus ini khususnya mengalami reduksi yang cukup besar oleh Peraturan Daerah. Selayaknya, pemenuhan kedua jenis hak asasi tersebut berjalan beriringan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami BEM FISIP UI bersama masyarakat Kampung Benteng dan LSM juga LBH yang peduli terhadap kasus ini menyatakan menolak penggusuran tanpa kompensasi atau relokasi yang jelas dan merekomendasikan dilakukannya penataan ulang terhadap wilayah pemukiman Kampung Benteng. Penataan ulang tersebut secara anggaran akan lebih menghemat biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dibandingkan jika biaya yang harus dikeluarkan untuk penggusuran. Terdapat beberapa alasan kenapa kami memilih penataan ulang daripada penggusuran, yaitu:

1. Penataan ulang daerah pemukiman sekitar bantaran sungai Cisadane tidak melanggar norma-norma seperti yang telah disebutkan sebelumnya. khususnya dalam bidang Hak Asasi Manusia, penataan ulang memungkinkan pemerintah untuk memenuhi hak asasi warga untuk dapat hidup layak, bebas dari rasa takut, dan bebas melaksanakan segi kulturalnya.

2. Penataan ulang akan lebih menghemat biaya pemerintah bahkan menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk penggusuran wilayah dan penataan kota berdasarkan program K3 karena hal tersebut akan dengan sendirinya dilakukan oleh masyarakat sekitar bantaran sungai itu sendiri. Jika penggusuran dilakukan, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya operasional yang cukup tinggi, baik secara ekonomis, yaitu biaya pengerahan satpol PP dan perlengkapan penggusuran, maupun secara sosial yaitu kerusuhan yang sangat rentan terjadi. Sebaliknya, jika yang dilakukan adalah penataan ulang, maka masyarakatlah yang akan membayar biaya yang diperlukan.

3. Daerah sekitar bantaran sungai Cisadane yang akan digusur menyimpan potensi budaya yang tinggi sehingga memungkinkannya untuk dijadikan salah satu objek wisata berupa kampung budaya untuk daerah Tangerang yang dapat memberi keuntungan bagi Kota Tangerang baik secara ekonomis maupun secara kultural. Kesenian-kesenian seperti gambang kromong dan tari cokek merupakan salah satu contoh kebudayaan yang dapat disajikan dari daerah tersebut. Ditambah lagi secara historis masyarakat sekitar bantaran sungai Cisadane tersebut menyimpan catatan sejarah yang signifikan bagi berkembangnya budaya tersebut.

Dengan demikian, kami sekali lagi menegaskan bahwa posisi mahasiswa dalam kasus ini adalah menolak penggusuran tanpa kompensasi yang jelas dan mengusulkan adanya penataan ruang kembali daerah sekitar bantaran sungai tersebut. Penataan ulang yang mungkin dilaksanakan oleh pemerintah di sisi lain juga merupakan komitmen pemerintah untuk memperhatikan sisi kemanusiaan dalam program pembangunannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar