Minggu, 04 Juli 2010

Pikiran Melanturku tentang HUJAN

Hari ini hujan turun, tidak seperti hari-hari biasanya yang dihiasi oleh terik mentari dalam mewarnai setiap kegiatanku. Aku duduk didepan teras rumahku melihat sekeliling lingkungan yang menjadi sepi karena hujan turun, sepertinya nuansa hujan ini berbeda dengan hujan-hujan yang kualami di Depok sebelumnya. Ada apa? Apa yang membuat hujan ini berbeda?

Ketika aku berusaha membuka brangkas memori dalam otakku untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu, tiba-tiba seorang ibu paruh baya berpayung dengan sayur-sayuran yang ditenteng-tenteng, mungkin dari pasar. Sambil berjalan kesal dan dengan muka yang ditekuk, dia menggerutu tentang cuaca yang tidak menentu. “Hujannya kok turunnya gak jelas sekarang ini.” Seperti itulah yang dia katakana sembari melewati aku yang masih duduk berkonsentrasi mengamati polah-tingkah ibu itu yang hanya melintas sekitar 30 detik didepan mataku.

Terngiang ucapan dari ibu tadi dan kucerna baik-baik sembari masih mencari jawaban atas pertanyaan awalku tadi. Lalu kupaksakan untuk menghubung-hubungkan perkataan ibu tadi dengan ingatan-ingatan tentang pengetahuanku yang masih terbatas mengenai persoalan climate change dan global warming. Ya, dulu ketika aku masih duduk dibangku SMA jurusan Ilmu Alam pelajaran tentang iklim dan cuaca pernah aku dapatkan. “Tunggu!” Sesaat setelah itu aku mulai tersadar bahwa pengetahuan itu kudapatkan dari pelajaran Geografi yang diajarkan di tahun pertamaku sekolah di SMA yang selanjutnya mulai kuperdalam di tahun ketigaku ketika akan masuk ke perguruan tinggi, walaupun mungkin dulu aku dari jurusan Ilmu Alam tetapi menjelang akhir aku mulai membelot dari jurusan tersebut dan berpaling ke Ilmu Sosial.
Pelajaran mengenai Iklim dan Cuaca itu lalu aku hubungkan kembali dengan mata kuliah yang aku dapatkan mengenai global warming dan climate change yaitu mata kuliah Sistem Sosial Indonesia. Ternyata yang keluar dari ingatanku mengenai perihal tersebut adalah dampak dari global warming itu sendiri. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengetahui pengertian serta faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya global warming. Dengan berlandaskan ilmu sosial yang aku miliki, dan keinginan untuk mengangkat eksistensi dari disiplin ilmu tersebut, maka akupun sedang ingin untuk berkutat pada dampak sosial dari global warming walau tidak menutup kemungkinan dilain waktu aku akan dengan senang hati meluangkan waktu untuk mempelajari dampak alam maupun dampak lainnya yang terkait dengan global warming karena memang antara satu hal dengan yang lain sangat berhubungan.

Ada beberapa dampak sosial yang mungkin dapat terjadi, salah satunya adalah meningkatnya angka kelaparan di negara kita ini yang memang sudah haus akan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan gagal panen dan krisis air bersih yang memang melanda akibat global warming. Dengan adanya kelaparan tersebut mengakibatkan tingkat mortalitas dari penduduk semakin bertambah, selain itupun berdampak meningkatkan gelandangan dan kemiskinan. Global warming pulalah yang mengakibatkan melemahnya kemampuan anak untuk berangkat sekolah. Hal itu dikarenakan untuk mendapatkan sesuap nasi dengan keadaan dimana terjadi gagal panen akan sangan sulit. Harga sembako pastilah akan naik, sehingga mau tidak mau orang tua akan meminta anak-anak mereka untuk membantu mereka mencari nafkah untuk membeli sembako yang harganya melambung. Bagaimana negara ini akan semakin maju jika presiden nantinya tidak bersekolah? Bagaimana negara ini akan menuai kesuksesan besok, jika calon pemimpin-pemimpin bangsanya malah diminta oleh orang tuanya untuk mencari nafkah ketimbang sekolah.

Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini baik orangtua maupun dari anak itu sendiri, ini adalah suatu bentuk fenomena sosial yang memang diakibatkan oleh keadaan dan mereka tidak memiliki pilihan selain memenuhi hasrat mendasar yang dimiliki makhluk hidup yaitu bertahan hidup. Yang menjadi pihak utama untuk dimintai pertanggung-jawaban adalah mereka oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya mementingkan kantong mereka sendiri tanpa berfikir akibat apa yang akan timbul dari kelakuan brengsek mereka. Melihat hal ini, cukup disayangkan pula ketika melihat kebijakan pemerintah yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memang mengatur tentang lingkungan hidup yang dewasa ini belum ditegakkan dengan maksimal. Sangat sedikit pelaku-pelaku kejahatan lingkungan tersebut yang ditangkap dan diproses dan akhirnya dipenjarakan untuk mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Itulah yang mestinya menjadi introspeksi dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk semakin memperbaiki kinerjanya walaupun memang kejahatan lingkungan sangat sulit diproses. Selain itu dari pihak masyarakatpun wajib untuk membantu pihak berwenang dalam menegakkan dan mencintai lingkungan ini, dengan mengolah alam secara adil dan seimbang dan melakukan pembangunan yang meminimalisir terjadinya dampak buruk terhadap generasi selanjutnya, selain itu aksi konkritnya mungkin dengan mulai membuang sampah di tempatnya, melakukan daur ulang dan menggunakan angkutan umum untuk mengurangi polusi udara.

Sepertinya pikiranku mulai melantur jauh sampai keranah teoritis ini, aku mulai tersadar bahwa masih ada pertanyaan yang belum terjawab dari diriku sendiri. Dan akhirnyapun aku terdiam, kembali fokus pada pertanyaan awalku, mencoba membuat suasana sedamai mungkin dengan ditemani suara tetes hujan yang berlomba-lomba memburu aspal jalan. Dengan suara gemuruh angin yang membawa tetes-tetes air hujan terombang-ambing kekanan dan kekiri entah akan dibawa kemana. Kupejamkan mataku yang cukup banyak melihat berbagai kejadian logis dan tidak logis didunia ini. Tenang dan sunyi, aku mulai masuk ke alam di sisi wilayah teramanku. Inikah jawabannya? Inikah jawaban dari pertanyaan awalku? Tiba-tiba aku tersadar, kubuka mataku dengan senyuman. Ya! Jawabku dalam hati, inilah nuansa yang membedakan dengan hujan yang biasa aku rasakan di Depok sebelumnya.

Sebagian hari-hariku disibukkan dengan berbagai kegiatan duniawi, mengejar pencapaian dan kesuksesan. Tertekan, lelah, dan amarah tidak jarang menghinggap dan menerawang untuk menunggu sedikit saja kelalaianku muncul sehingga mereka bisa dengan leluasa mendominasi sistem kerja dalam tubuhku. Ketika hujan turun, ketika titik air yang jatuh dari langit itu membasahi duniaku, aku sering tak menganggapnya ada, kalaupun kuanggap dia ada, yang kurasakan adalah suatu keadaan sebagai sesuatu yang menghambat mobilitasku dalam beraktivitas. Ketika mulai turun, yang ada dalam pikiranku adalah tentang baju yang mulai basah, celana yang kotor karena air jalanan, sakit dan lain sebagainya. Tak pernah aku menikmati sisi indah dari hujan itu sendiri.

Inilah yang sekarang aku rasakan, duduk di kursi kayu murahan dengan ditemani hujan yang kulihat dengan paradigma yang berbeda dengan sebelumnya. Ya! Inilah perbedaannya.

Ketika aku yang sedang menikmati nuansa hujan dengan kondisi dimana sudah kupecahkan pertanyaan dengan jawabanku sendiri, aku mulai membayangkan tentang pandangan orang mengenai hujan itu sendiri. Stereotipe memperlihatkan bahwa hujan itu identik dengan perasaan sedih, putus asa, dan tangisan. Mungkin karena konsep dasar mereka yang sama yaitu mengeluarkan tetesan air. Lalu pikiran ini kembali liar mengingat peristiwa-peristiwa yang telah lalu ketika hujan turun. Aku mendapatkan satu kalimat yang cukup menarik dilontarkan oleh salah seorang temanku ketika aku masih duduk dibangku SMA. ”aku suka hujan, karena ketika aku menangis ditengah hujan, orang-orang tidak akan tahu kalau aku sedang menangis.” Cukup cerdik juga caranya untuk menutupi kesedihannya.

Kadang ketika seseorang bersedih karena suatu hal, mungkin karena cinta, tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit itu seperti kebahagiaan yang jatuh dari hati masing-masing pemiliknya sehingga hanya kesedihan yang tersisa disana. Mungkin karena kotak cintaku telah lama kosong dan hanya diisi oleh kehampaan, aku tidak terlalu mengerti tentang kesedihan cinta itu. Mungkin perasaan ini sudah bias, bagaimana menyayangi, memaknai dan meratapi cinta. Ketika melihat sekeliling dengan pasangan masing-masing, sahabat-sahabat yang satu demi satu memiliki pasangannya yang mulai kuamati dari pertemuan, masa-masa indah, konflik, lalu berpisah, lalu bersedih. Hal itu seperti suatu fase menurutku, ritus dalam hubungan. Dan aku sendiri, aku mulai lupa bagaimana rasanya sensasi ritus tersebut.

Kembali aku ingat tentang hujan ini yang mampu membawaku ke pikiran-pikiran melanturku. Lalu aku ingin melihat hujan dengan paradigma yang berbeda. Bagaimana hujan mampu memenuhi danau-danau, membawa bibit-bibit tumbuhan untuk segera menampakkan perkembangannya sehingga siap untuk dipanen. Bagaimanapun juga hujan itu indah, mereka membawa rezeky dan kebahagiaan. Aku bahagia kali ini bisa menikmati setiap detil hujan yang jatuh didepanku. Aku bahagia akan hujan. Semoga tiap hujan semakin membawa kebahagiaan untukku dan bangsa ini yang sedang kekeringan oleh keadilan dan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar